Penginjilan Ditinjau dari Perspektif Doktrin Pemilihan


Oleh: Ev. Liem Sien Liong

“Penginjilan” seringkali menjadi kata yang tidak terlalu digemari oleh banyak orang Kristen. Mereka berpikir penginjilan hanyalah usaha, kegiatan, atau sarana gerejawi yang bertujuan untuk menambah dan memperbanyak jumlah anggota jemaat suatu gereja. Bahkan ada pula yang berpikir bahwa penginjilan merupakan suatu usaha yang sia-sia sebab Tuhan telah menetapkan keselamatan seseorang. Tanpa pemberitaan Injil, orang tersebut akan tetap selamat. Karena itu tidaklah mengherankan apabila muncul beberapa komentar mengenai penginjilan, antara lain:

1. Kita tidak perlu terlalu repot untuk menginjil, sebab anggota jemaat kita sudah cukup banyak; bahkan gedung gereja tidak cukup untuk menampungnya. Biar saja mereka yang berada di pos-pos PI yang melakukan penginjilan.

2. Penginjilan itu tugas pelayan Tuhan, bukan tugas kita sebagai jemaat. Kalau kita harus memberitakan injil, capek deh… Untuk apa mereka dipanggil menjadi pelayan Tuhan kalau tidak memberitakan Injil?

3. Kita tidak perlu merepotkan diri terlibat dalam penginjilan sebab Tuhan mampu menyelamatkan orang-orang pilihan-Nya, tanpa ki-ta. Sebaliknya jika kita melakukan penginjilan, maka kitalah yang akan menentukan anggota jemaat menurut selera sendiri.

Mengapa sikap di atas dapat terjadi? Jawabnya sudah tentu karena mereka tidak mengetahui hakekat dan signifikansi penginjilan. Bagi mereka, penginjilan hanyalah sebuah kegiatan gerejawi yang tidak memiliki korelasi dengan panggilan mereka sebagai umat Tuhan, dan hal ini tidak berimplikasi bagi keselamatan mereka. Artinya, “tidak melakukan penginjilanpun toh saya tetap selamat juga!”

MEMBANGUN SEBUAH PARADIGMA

Tidak dapat disangkali bahwa kesalahan membangun paradigma berpikir tentang penginjilan mengakibatkan seseorang bersikap acuh tak acuh terhadapnya. Meskipun kesalahan ini seringkali dianggap “biasa,” namun sikap ini tidak Alkitabiah. Karena itu, kita membutuhkan suatu paradigma yang Alkitabiah untuk memahami hakekat dan signifikansi penginjilan.

Penginjilan adalah perintah agung, bukan perintah biasa

Dalam suatu perkuliahan, Dr. John Gerstner memberikan sebuah pertanyaan yang menarik kepada 20 mahasiswa yang berada di kelasnya. Ia bertanya: “Saudara-saudaraku, apabila Allah berdasarkan kedaulatan-Nya telah menetapkan pemilihan dan reprobasi sejak dari kekekalan, mengapa kita harus memikirkan tentang penginjilan?” Suasana kelas menjadi hening ketika Dr. Gerstner menjatuhkan pertanyaan tersebut kepada seorang mahasiswa yang duduk di ujung kiri sesuai formasi tempat duduk mereka. Namun di sisi lain, RC. Sproul merasa lega karena dirinya duduk di ujung sebelah kanan. Kemudian mahasiswa tersebut menjawab: “Saya tidak tahu, Pak. Pertanyaan itu memang selalu mengganggu saya.” Mahasiswa berikutnya berkata: “Saya juga tidak tahu.” Mahasiswa berikutnya hanya menggeleng kepala dan kemudian menunduk. Sampai akhirnya tibalah giliran Sproul harus memberikan jawaban.

Dr. Gerstner berkata: “Baik, Saudara Sproul, bagaimana jawaban Anda? Pada waktu itu Sproul berharap andai kata dirinya menghilang dari tempat itu dan menyembunyikan diri. Akhirnya Sproul bergumam. Kemudian Dr. Gerstner berkata: “Keraskan volume suaramu, Sproul!” Sproul menjawab: “Dr. Gerstner, saya tahu ini bukan jawaban yang Bapak harapkan, namun satu alasan sederhana mengapa kita masih harus menginjil, oleh karena ..eee …eeem… Bapak telah mengetahuinya, yaitu Kristus memerintahkan kita untuk melakukannya.”

Tampaknya jawaban dari Sproul mampu membuat mata Dr. Gerstner jadi bersinar. Kemudian Dr. Gerstner berkata: “Oh, jadi oleh karena alasan yang sederhana, yaitu Juru Selamatmu, Tuhan yang mulia, Raja dari segala raja telah memerintahkannya. Saudara Sproul, apakah ini alasan yang sederhana? Apakah menurut Saudara, bobot dari ketetapan yang Allah berikan berdasarkan kedaulatan-Nya untuk memilih tidak sama dengan bobot kedaulatan Allah dalam memerintahkan kita untuk berperan serta dalam penginjilan?” Perkataan Dr. Gerstner ini menjadikan Sproul merasa malu karena ia berpikir bahwa perintah untuk menginjil itu adalah alasan sederhana.

Percakapan tersebut tentu saja mengingatkan kita pada akhir percakapan Tuhan Yesus dengan para murid yang dicatat dalam Injil Matius 28:19-20, bahwa memberitakan injil bukanlah perintah sederhana, sebab hal ini bergantung pada status pemberi perintah tersebut. Dalam ayat 18, Tuhan Yesus berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi.” Ini berarti memberitakan Injil (penginjilan) adalah perintah agung Sang Raja segala raja, Penguasa langit dan bumi, sehingga kita wajib meresponinya bukan dengan sikap biasa, tetapi penuh dengan keagungan. Artinya, penginjilan bukan hanya sebagai kewajiban kita, tetapi karena hakekatnya yang agung dan bersumber pada keagungan Juru Selamat kita Yesus Kristus, maka penginjilan merupakan suatu kehormatan bagi kita untuk terlibat dalam kehendak dan rencana-Nya bagi keselamatan manusia.

Jadi, penginjilan bukan sekadar perintah biasa, tetapi perintah agung. Penginjilan bukanlah program gerejawi, tetapi suatu panggilan Ilahi bagi setiap anak Tuhan untuk menyaksikan kemurahan Tuhan bagi semua orang. Penginjilan merupakan tugas yang mulia, sehingga dikatakan: “Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!” (Rm. 10:15).

Penginjilan adalah sarana untuk menggenapkan pemilihan Tuhan

Seperti yang dikatakan Dr. Gerstner bahwa bobot dari ketetapan yang Allah berikan berdasarkan kedaulatan-Nya untuk memilih sama dengan bobot kedaulatan Allah dalam memerintahkan kita untuk berperan serta dalam penginjilan, maka kesamaan bobot tersebut menunjukkan bahwa doktrin pemilihan dan penginjilan memiliki korelasi yang tidak terpisahkan. Artinya, keagungan rahasia dari ketetapan yang Allah berikan berdasarkan kedaulatan-Nya untuk memilih sejumlah manusia berdosa menjadi umat kesayangan-Nya tidak terlepas dari peran pemberitaan Injil (penginjilan). Bagaimanakah kita memahaminya?

Kita tentu tidak pernah mengetahui siapa yang menjadi umat pilihan-Nya; sebab sebelum pemilihan Allah itu direalisasikan dalam kehidupan umat-Nya, kondisi mereka adalah sebagai orang-orang berdosa, orang-orang yang patut menerima murka Allah, dan calon penghuni neraka. Karena itu penginjilan bersifat universal, di mana penginjilan tidak dapat dilakukan dengan memilih-milih orang yang akan diinjili. Penginjilan wajib dilakukan untuk semua orang, semua suku bangsa dan bahasa.

Namun karena keberdosaan manusia, maka mereka tidak memiliki kemampuan untuk merespons berita Injil, termasuk orang-orang pilihan Allah (bnd. Ef. 2:1-10), sebab bagi mereka pemberitaan Injil adalah suatu kebodohan. Namun pilihan Allah itu tidak bergantung pada putusan, pilihan dan kegagalan umat pilihan-Nya, tetapi berdasarkan anugerah dan kehendak kekal-Nya (Ef. 1:4, 11). Karena itu, melalui pemberitaan Injil yang dianggap sebagai suatu kebodohan tersebut, Allah mengerjakan panggilan efektif dalam diri umat pilihan-Nya, sehingga mereka tercelikkan dan melihat keselamatan yang dari Allah. Itulah sebabnya Paulus berkata bahwa pemberitaan Injil adalah suatu kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi umat pilihan-Nya, pemberitaan itu adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan (1Kor. 1:18, Rm. 1:16-17). Karena itu keselamatan bukan berdasarkan perbuatan baik manusia atau pra-pengetahuan Allah, tetapi karena pilihan dan anugerah-Nya.

Jadi, penginjilan merupakan sarana yang Allah gunakan untuk menyatakan rahasia pilihan-Nya. Sebagaimana Ia memilih orang-orang pilihan-Nya, Ia juga memilih sarana untuk menggenapkan pilihan-Nya tersebut, yaitu melalui pemberitaan Injil (penginjilan). Bagi mereka yang akan binasa, penginjilan akan mendatangkan bau kematian, tetapi bagi mereka yang diselamatkan, penginjilan akan mendatangkan bau harum dan kehidupan dari Kristus (2Kor. 2:15-16). Namun tugas inilah yang harus kita kerjakan!

MENJADI KAWAN SEKERJA ALLAH

Setelah kita mengetahui hal ini, kita harus menyadari bahwa perintah agung bukanlah suatu pemaksaan, tetapi panggilan Ilahi bagi kita untuk menjadi kawan sekerja Allah. Kita dipanggil dan dipilih-Nya bukan untuk menjadi egois terhadap diri sendiri, tetapi menjadi alat bagi kemuliaan Tuhan. Kita harus menyadari bahwa masih banyak saudara kita yang berada dalam “lautan dosa” (istilah John Calvin), meskipun kita tidak tahu di mana mereka berada. Namun hal ini bukan hak kita untuk mengetahuinya, supaya kita jangan memilih-milih orang dalam penginjilan. Tugas kita adalah menjadi kawan sekerja Allah untuk memberitakan Injil bagi semua orang. Apabila mereka merespons berita Injil, itu juga adalah pekerjaan Tuhan, supaya jangan pula kita menjadi sombong dengan apa yang kita kerjakan. Marilah kita memberitakan Injil Tuhan sebab kitalah kawan sekerja Allah yang sudah dipilih-Nya (1Ptr.2:9-10). Amin. •