Teologi Injili Baru (New-Evangelikal)


by: Dra. Yullia Oeniyati Buffet,M.Th

Istilah Istilah Injili Baru muncul dari Fuller Theologia Seminary di California dimana Dr. Harold Ockenga mengajar. Istilah ini dipakai Dr. Ockenga dalam usahanya untuk mengkoreksi kesalahan Fundamentalisme dan mencoba mengkawinkannya dengan Teologia Injili.

Latar Belakang Teologia Injili Baru muncul sebagai protes terhadap kerasnya arus Teologia Liberal dan ketidakpuasan terhadap Teologia Injili. Carl Henry, salah satu pencetus teologia ini, melihat bahwa bagaimanapun juga Fundamentaslisme adalah pernyataan kekristenan yang benar dan tidak dapat ditinggalkan. Namun demikian, Teologia Fundamentalisme telah kehilangan perspektif teologis dan historis. Selain itu teologia ini sama sekali mengabaikan sifat akademis dan tertutupnya pada perkembangan ilmu pengetahuan. Akibatnya masyarakat kontemporer menolak teologia ini dan menjadi sangat tidak relevan dengan kebutuhan yang ada.

Desakan Carl Henry kepada kaum konservatif memberikan reaksi yang positif terhadap kebutuhan masyarakat kontemporer. Mulailah diselenggarakan pertemuan-pertemuan dengan para teolog modern, untuk mendiskusikan tentang hal-hal yang menjadi keberatan teolog modern, mis. otoritas keabsahan Alkitab dll. Hasil yang ditimbulkan dari pertemuan-pertemuan ini memberi kesempatan kepada kaum Injili untuk mulai melakukan kompromi dan toleransi teologia yang akhirnya justru memberi dampak yang negatif bagi berita Injili.

Dipihak lain kaum Injili semakin diprotes karena kelalaian mereka terhadap masyarakat dan kepedulian untuk menjadi terang dan garam dunia. Desakan- desakan dari berbagai pihak inilah yang mendorong munculnya semangat Injili Baru.

Kegagalan Teologia Injili Baru

Teologia Injili Baru ini sering tidak disepakati sebagai suatu aliran teologia yang memiliki prinsip-prinsip teologia Injili. Hal ini disebabkan oleh beberapa kegagalan berikut ini:

  1. Keinginan untuk menghimbau teolog modern untuk duduk bersama dengan kaum konservatif ternyata membuahkan hasil yang negatif bagi penempatan otoritas Alkitab sebagai pedoman mutlak bagi iman dan perbuatan.
  2. Keinginan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan masalah eklesiologi tidak terpenuhi, sehingga tidak berhasil menarik perhatian pihak manapun.
  3. Keinginan untuk menjelaskan hubungan antara Alkitab dan ilmu pengetahuan mengalami jalan buntu karena keanekaragaman jawaban di antara mereka sendiri.
  4. Keinginan untuk terlibat dalam menjawab kebutuhan sosial masyarakat tidak mendapat sambutan yang positif karena dianggap telah kembali ke “social gospel” yang telah mereka tentang sebelumnya.
  5. Keinginan memenangkan pengaruh lewat apologetika tidak membuahkan hasil yang positif.