Mengapa Gereja Perlu Kebangunan Rohani?


Oleh: Ev. Jimmy Pardede

Mengapa gereja masih perlu kebangunan rohani? Bukankah gereja sudah terdiri dari orang-orang yang sudah Kristen? Oh, tetap perlu… karena meskipun Kristen toh mereka belum menjadi orang Kristen yang sungguh-sungguh. Tetapi orang Kristen yang sungguh-sungguh itu seperti apa sih? Yang sudah yakin masuk surgakah? Yang rajin pelayanankah? Atau apa? Siapa sebenarnya yang perlu kebangunan? Cara berpikir sempit dari orang-orang yang, katanya, paham iman Kristen seringkali mendorong mereka untuk membagikan dua jenis golongan orang yang perlu dilayani. Yang perlu Injil dan yang perlu follow up. Mereka yang sudah percaya tidak perlu dengar Injil lagi. Mereka sudah tahu kok. Mereka perlu follow up. Jadi sebaiknya jangan KKR. Jadi siapa yang perlu KKR? Ya yang belum Kristen. Maka sebaiknya adakan KKR di tempat ibadah agama lain, itu baru pas. Tetapi gereja? Gereja tidak perlu! Jadi apakah kebangunan rohani itu? Apakah kebangunan rohani terjadi karena penyampaian Injil? Injil itu apa? Lalu apa dampak orang yang telah menerima Injil? Injil berarti berita tentang Kristus yang datang menyelamatkan manusia. Dan dampak orang yang telah menerima Injil adalah… dia sudah yakin masuk surga! Nah, jadi kalau sudah yakin masuk surga dia tinggal perlu follow up. Tidak perlu KKR. Bukankah KKR berguna supaya orang-orang yang tadinya belum masuk surga sekarang bisa masuk surga? Selesai. Kristus telah menyelamatkanmu dan sekarang kamu pasti ke surga. Amin. Mari berdoa… Sedangkal itukah konsep mengenai kebangunan rohani? Mencetak KTP untuk calon warga surgawi? Tetapi apakah para warga surga itu sudah memiliki kesadaran akan dosa yang sungguh-sungguh? Apakah para tetangga malaikat surgawi itu sudah memiliki kejelasan menjalankan hidup dengan penuh kemurnian? Apakah para kaum beriman, yang setelah mati sudah tahu mau kemana itu, sudah sungguh-sungguh gentar dan mengasihi Allah, sehingga seluruh hidupnya didorong oleh kerelaan mengasihi dan mengikuti Tuhan dengan mengorbankan apapun harga yang harus dikorbankan? Sebab jika tidak maka mereka masih perlu kebangunan rohani. Mereka dan kita semua! Mereka dan kita semua yang sedang bermimpi dan merasa nyaman dengan mimpi-mimpi itu sehingga tidak merasa perlu sebuah kebangunan. Kalau begitu apakah kebangunan rohani itu?

Søren Kierkegaard pernah mengekspresikan kekagumannya kepada Socrates karena Socrates sangat keras mengritik orang-orang yang menerima tradisi tanpa terlebih dahulu melakukan refleksi mengapa tradisi tersebut harus diterima. Orang-orang yang menerima tradisi maupun orang-orang yang menolak tradisi tanpa merenungkannya dalam-dalam terlebih dahulu sudah jatuh di dalam kebodohan yang sama. Demikian juga orang-orang yang giat di dalam pelayanan KKR ataupun orang-orang yang anti “buang-buang” tenaga, waktu, dan uang untuk kebaktian-kebaktian kebangunan rohani akan jatuh di dalam ketololan yang sama jika dia tidak sungguh-sungguh merenungkan apa sebenarnya kebangunan rohani itu. Jadi kita akan mencoba membahas apa sebenarnya kebangunan rohani itu. Kemudian apakah kaitan kebangunan rohani dengan Kebaktian Kebangunan Rohani. Apakah kebangunan rohani hanya dapat terjadi dengan sebuah KKR? Untuk merenungkan hal inilah saya akan berusaha membagikan tiga pemikiran yang pernah dikemukakan Yohanes Calvin di dalam Institutes of Christian Religion untuk berusaha menjawab pertanyaan mengapa gereja perlu kebangunan rohani sejati. Tulisan ini terdiri dari tiga bagian pemikiran Calvin.

Bagian Pertama

1. …kita menggantikan kebenaran yang sejati dengan gambaran kebenaran yang palsu dan kita merasa puas dengan gambaran palsu itu. (Inst. I.I.2.)
Memulai buku Institutes-nya, Calvin mengatakan: “Hampir semua bijaksana yang kita miliki, yaitu bijaksana yang benar, terdiri dari dua bagian: mengenal Allah dan mengenal diri kita sendiri.”[1] Kalimat yang rupanya cukup berkesan di dalam batin seorang pemikir Perancis abad ke-20, Michel Foucault, sehingga ketika dia menulis bukunya, History of Madness, dia dengan tepat mengutip dan menjabarkan perkataan Calvin ini. Foucault mengatakan bahwa kegilaan seseorang terjadi ketika dia sibuk melihat dan mengamati bayangan dirinya sendiri. Sebab dengan demikian, “…ketidakmampuan untuk menyadari bahwa dirinya sedang terbelenggu dan sengsara adalah kelemahan yang membuat seseorang gagal untuk naik ke atas dan menemukan apa yang baik dan yang benar, dan membuat dia tidak mengetahui kegilaan apa yang sebenarnya ada padanya.”[2] Calvin, sebagaimana dikutip Foucault, memberikan contoh mengenai hal ini. Jika seseorang terus melihat ke arah tanah pada siang hari, maka dia berpikir bahwa tanah tersebut sudah cukup terang. Tetapi kalau dia melihat ke arah matahari, barulah dia sadar apa itu terang yang sesungguhnya.[3] Ketika seseorang sibuk melihat dirinya, dia tidak akan sadar kegilaan apa yang sebenarnya sedang ada padanya. Mengapa? Karena ukuran standarnya adalah diri sendiri. Orang gila menjadikan dirinya standar kewarasan dan menyelidiki dirinya sendiri. Maka diagnosa yang dia temukan adalah bahwa dirinya cukup waras. Waras? Ya. Karena ukuran kewarasan adalah kegilaannya sendiri. Demikian juga orang berdosa. Dia akan terus merasa dirinya baik, murni, dan suci. Karena dia mengukur dirinya dengan dibandingkan dengan standar yang adalah dirinya sendiri. Alangkah bodohnya orang-orang seperti ini.[4] Tetapi ini berlaku bukan hanya bagi orang gila di luar sana. Ini juga berlaku bagi orang-orang gila di dalam gereja yang perlu bertobat dari kegilaan mereka. Orang-orang yang sambil jalankan bisnis dengan cara kotor, tetapi masih bisa senyum manis sambil berikan persembahan bagi gereja. Orang-orang yang sambil menjadi maling elegan di luar, tetapi masih bisa menduduki jabatan tinggi di dalam gereja. Orang-orang yang sambil mendewakan hawa nafsunya sepanjang enam hari kerja, ternyata juga dapat menjadi biarawan-biarawati yang penuh penyangkalan diri ketika tiba hari sabat. Orang-orang yang tidak pernah mau mengubah dirinya, tetapi mau mengubah gereja untuk sesuai dengan selera diri yang tidak karuan. Orang-orang yang tidak mungkin bertobat kalau mereka masih terus melihat dirinya dan berpuas atas pencapaian diri yang kosong dan tidak berarti itu. Jangan bilang gereja tidak perlu kebangunan. Hanya salah satu dari orang-orang gila di atas itulah yang mengatakan gereja tidak perlu kebangunan. Tetapi gereja tidak akan mungkin bisa mengalami kebangunan kalau gereja masih menjadikan diri sebagai standar, dan membandingkan diri dengan standar itu. Alangkah bodohnya gereja sedemikian.

Tetapi inilah yang dilakukan kalau gereja tidak dikoreksi oleh firman. Ini persis yang terjadi ketika gereja tidak ditundukkan kepada berita Injil. Berita Injil bukan hanya seruan “Yesus Kristus adalah Juruselamatmu!” Berita Injil dimulai dengan teriakan, “Bertobatlah! Kerajaan Allah sudah dekat!” Teriakan yang pernah diserukan Jan Hus yang berakibat pembakaran dirinya oleh gereja. Teriakan yang makin memuncak 102 tahun setelah kematian Jan Hus, yaitu ketika Martin Luther memakukan 95 tesisnya. Teriakan yang dengan kekerasan berusaha dibungkam oleh pemimpin-pemimpin gereja yang lebih suka untuk terus menjadi orang-orang gila. Tetapi sejak dahulu gereja terus dipelihara oleh Tuhan dengan seruan-seruan untuk bertobat yang hingga kini masih menggema. Teriakan yang menghindarkan Gereja Tuhan dari kesalahan melihat diri sebagai standar untuk mengoreksi diri. Inilah sebabnya Calvin mengatakan bahwa manusia tidak akan sadar bahwa dia menderita, hidup di dalam ketelanjangan, dan terus meluapkan tindakan-tindakan najis[5] jikalau dia tidak mengenal Allah. Demikian juga gereja akan makin rusak, kotor, dan najis karena tidak mengenal Allah.

Tetapi gereja tidak menyukai firman Tuhan. Tidak suka teguran Tuhan. Dan karena mengabaikan penghakiman Tuhan, gereja lebih suka menyembah Allah yang diletakkan di pojok surga, menganggur di sana, dan tidak usah ikut campur kehidupannya.[6] Berapa banyak orang-orang Kristen yang menyadari hal ini? Orang-orang Kristen lebih suka menghadiri KKR-KKR untuk dihibur, disenangkan, ditenangkan, dan mengalami suatu semangat baru, tetapi tidak suka dikoreksi. Tetapi tanpa ada firman Tuhan yang mengoreksi, bukankah ini berarti bahwa kebangunan-kebangunan rohani sedemikian akan menjadi sarana yang subur bagi bertumbuhnya orang-orang Kristen yang menjadikan diri sebagai standar, lalu mengukur “kewarasan spiritualnya” dengan standar yang adalah dirinya sendiri itu? Kalau begitu, sebagaimana dikatakan Michel Foucault di atas tadi, bukankah ini akan mengarah kepada kegilaan? Jadi kegiatan-kegiatan sedemikian lebih cocok disebut Kebaktian Kegilaan Rohani. Kan sama-sama KKR toh?

Tetapi Calvin mengingatkan, jika kita belum mau keluar dari diri kita sendiri, dan mulai belajar merenungkan kehendak Allah dan menerimanya sebagai aturan universal, maka kita sedang membentuk ilah palsu, dan dengan demikian, sedang menyembah berhala.[7] Kalau sebuah stadion besar diisi oleh puluhan ribu orang yang siap mendengar suara dari seorang gila, dan puluhan ribu orang tersebut mengaku diri sebagai Kristen, masih adakah orang yang mengatakan gereja tidak perlu kebangunan rohani? Sudah terlalu banyak pengkhotbah-pengkhotbah kebangunan rohani saat ini yang jika diukur oleh iman yang sejati dan akal yang sehat, adalah orang-orang yang lebih cocok dikelompokkan sebagai orang-orang sakit jiwa ketimbang pemimpin spiritual! Tetapi mereka punya pengikut fanatik! Yah, mungkin memang benar kata pepatah… orang agung akan menarik orang agung. Maka orang gila juga akan menarik orang-orang gila. Jika seorang berkhotbah dengan pengajaran yang ngawur dan gereja menerima pengajaran ini, maka gereja sedang menuju kepada kegilaan. Jika pengkhotbah menghina firman Tuhan dan menginjak-injak perkataan Allah yang sedang menyatakan diri kepada manusia, bagaimana mungkin dia bisa luput dari hukuman Tuhan? Tetapi terlalu banyak orang Kristen yang tidak sadar bahwa seorang pengkhotbah yang mengangkat diri mereka ke level yang sama dengan Kristus, dia sedang menghina Allah dengan cara menginjak-injak perkataan Allah. Bukankah dia tidak merasa perlu untuk, dengan kesungguhan hati, menyatakan pesan Allah melalui mengkhotbahkan firman-Nya? Terlalu banyak orang Kristen yang tidak sadar akan hal ini karena mereka terus membanjiri KKR-KKR yang dipimpin oleh penipu-penipu ini dengan semangat militan yang luar biasa. Kalau puluhan ribu orang Kristen lebih senang mendengar seorang pengkhotbah yang sering travelling pulang pergi dari surga atau neraka, lebih sering dari Sisyphus, dan memilih untuk membuat telinga mereka berpaling dari ajaran firman untuk mendengar tukang melantur dari dunia akhirat ini berbicara, betapa kasihannya gereja… Jika orang lebih senang melihat show seorang pengkhotbah “membantai” jemaat hingga semua berjatuhan dengan kibasan jas putihnya daripada mendengar Tuhan berbicara… apakah salah kalau Tuhan membuang gereja seperti dahulu Dia membuang Israel? Sungguh! Jika Tuhan memilih untuk membuang kita semua, Dia bersih dalam penghukuman-Nya![8] Sebab jika umat-Nya lebih suka untuk melihat show seorang badut menjatuhkan orang-orang dengan lambaian jasnya, lebih daripada mendengar seorang hamba Tuhan menyampaikan firman Tuhan… sampai kapan Dia harus sabar dan tidak menghukum? Dan jika badut-badut itu masih berani naik mimbar dan berbicara kepada puluhan ribu orang mengenai dongeng gila mereka… sampai kapan Tuhan menahan diri dan tidak mengikatkan batu kilangan pada leher mereka?[9]

Tetapi Tuhan mengasihi gereja-Nya. Dia tidak akan membiarkan gereja tanpa adanya kebangunan yang sejati. Pada zaman Jan Hus, abad ke-15, gereja Tuhan dipimpin oleh dua orang Paus. Yang seorang, Paus Gregory XII, memerintah di Roma. Tetapi orang-orang di Perancis, di kota Avignon, merasa bahwa Tuhan telah memindahkan kota suci ke tempat mereka. Maka mereka mengangkat Paus, yaitu Benedictus XIII. Untuk mencegah perpecahan gereja di tengah kondisi politik gereja yang makin kacau ini, maka sebuah konsili di Pisa mengangkat Paus ke-3, Paus Alexander V. Ternyata Roma menolak paus ini. Maka penerus Paus Alexander V, yaitu Paus Yohanes XXIII melancarkan perang melawan Napoli, yang dianggap sebagai pelindung Gregory XII. Untuk peperangan inilah direkrut pasukan perang salib. Perang salib? Ya. Untuk berperang melawan siapa? Melawan gereja. Gereja melakukan perang saudara! Dan pasukan perangnya disebut perang salib! Bukankah kondisi kacau ini sepertinya sudah tidak mungkin diperbaiki? Lalu Tuhan membangkitkan Jan Hus untuk bersuara menentang kesewenang-wenangan gereja. Seorang yang pengaruhnya terlalu kecil sehingga sepertinya akan padam bersamaan dengan eksekusi matinya. Tetapi sebelum mati Jan Hus mengatakan bahwa suaranya tidak akan sanggup dibungkam. Seratus tahun lagi suara ini akan menggema dengan lebih besar. Ternyata 102 tahun kemudian Martin Luther memakukan 95 thesis kontroversialnya yang bersuara dengan gema lebih besar dari suara Hus. Tuhan begitu mengasihi gereja-Nya sehingga tidak pernah ada periode di mana Tuhan membiarkan gereja-Nya sama sekali tersesat. Tetapi pemeliharaan Tuhan ini selalu dilakukan dengan menyatakan seruan firmanNya yang memanggil kembali umat-Nya. Seperti apakah dampak dari seruan firman ini? Calvin, di dalam buku Institutes-nya, membahas mengenai apa yang terjadi ketika Tuhan menyatakan panggilan-Nya dengan menyatakan firman-Nya dalam kalimat berikut:

“Tetapi begitu kita mulai melihat Allah, merenungkan sifat-sifat-Nya, dan menyadari betapa sempurna kebenaran, kebajikan, dan kuasa-Nya –yang merupakan standar dengan mana kita semua harus dibentuk- maka, apa yang semula tersamar sebagai sesuatu yang benar dan menyenangkan di dalam diri kita, akan segera terlihat sebagai sesuatu yang kotor dengan segala kejahatan-kejahatannya.” (Institutes I.I.2.)

Firman Tuhan dinyatakan kepada gereja Tuhan sehingga gereja Tuhan melihat Allah. Mulai masuk ke dalam relasi dengan Pribadi yang menciptakan dia. Pribadi yang mempunyai sifat-sifat yang sempurna dan tidak bercacat. Pribadi yang baik, yang benar, yang berkuasa, yang penuh kasih, yang adil. Pribadi yang akan membuat kita bersujud dan takluk karena keagungan sifat-Nya. Pribadi yang akan membuat kita takut, gentar, tetapi sekaligus mengasihi Dia dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan. Pribadi yang setelah kita kenal, akan membuat seluruh dunia menjadi suram oleh sinar kemuliaan-Nya. Tidak ada cita-cita, keinginan, gairah, dan tujuan hidup yang dahulu kita pegang dan cari dengan giat, yang sekarang tidak menjadi remeh dan gelap jika dibandingkan dengan kemuliaan Pribadi Allah. Dan kesadaran akan sifat mulia dari Allah ini akan langsung diikuti dengan kesadaran akan diri yang mempunyai sifat demikian terkutuk dan tercela. Kesadaran ini akan membuat kita bersujud kepada Tuhan dan bersyukur karena Tuhan telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya.[10] Kesadaran yang membuat kita merasa tidak layak untuk datang dan mengangkat wajah kepada-Nya.[11]

Lalu setelah memiliki kesadaran akan hal ini, Calvin mengatakan, gereja akan memiliki iman yang sejati. Iman yang digabungkan dengan rasa takut yang tulus kepada Allah.[12] Rasa takut dan hormat yang rela diberikan kepada Allah. Ini adalah rasa takut dan hormat yang berbeda dengan rasa takut dan hormat karena ancaman hukuman. Seorang akan hidup suci jika dipaksa dengan todongan pistol di dahinya. Tetapi jika todongan pistol itu sudah ditarik, masihkah dia hidup suci? Kalau Tuhan sudah menyelamatkan gereja-Nya, maka iman yang sejati adalah ketika gereja tetap mengekang diri untuk tidak berdosa, bukan karena takut hukuman, tetapi karena dia mengasihi dan menghormati Allah sebagai Bapa, dan memuja dan mengagumi Dia sebagai Tuhan. Walaupun tidak ada neraka, dia akan tetap gentar untuk menyinggung hati Allah.[13]

Meskipun seluruh pembahasan ini adalah pembahasan yang dapat diterapkan kepada pertobatan individu-individu, tetapi saya mau mengingatkan kita semua bahwa Allah mengutus Kristus untuk memanggil gereja-Nya yang kudus. Demikian juga panggilan kita adalah untuk menjadi satu tubuh. Bukan hanya saya dan Tuhan saya. Bukan hanya saya dan teman-teman sekelompok kecil yang saya kasihi. Bukan hanya saya dan adik-adik KTB yang saya kasihi. Tetapi gereja yang adalah tubuh Kristus. Gereja yang kudus dan am, yang di dalam sejarah dinyatakan melalui gereja yang kelihatan. Jika demikian kebangunan rohani harus dimulai dengan kesadaran individu-individu yang bertobat, tetapi tidak boleh berhenti di sini. Orang-orang tersebut harus rindu seluruh gereja Tuhan dibangunkan. Dengan kesadaran seperti inilah kita sekarang harus berjuang bagi pekerjaan Tuhan. Kalau ada sebagian orang-orang yang kita kenal begitu giat melakukan sesuatu demi kebangunan yang sejati ini, di manakah kegiatan yang sama itu di dalam diri kita? Sebelum kematian George Whitefield, seorang sahabatnya mendengar khotbah kecil Whitefield yang diberitakan di depan pintu kamarnya. Whitefield waktu itu berkhotbah sambil memegang lilin. Setelah selesai berkhotbah, dengan sisa tenaga yang masih ada Whitefield masuk ke dalam kamar tersebut. Itu adalah khotbah terakhirnya karena dia meninggal di dalam kamar tersebut. Maka sahabatnya mengatakan bahwa dia sangat terharu mendengar khotbah sambil melihat lilin yang masih bersinar sambil menghabiskan dirinya. Baik lilin di tangan George Whitefield maupun “lilin” yang bernama George Whitefield. Itulah gambaran yang dia lihat mengenai kehidupan George Whitefield. Membakar diri hingga meleleh demi memberikan terang. Whitefield hanyalah satu dari begitu banyak orang yang melakukan hal yang sama. Bodohkah mereka? Membuang semua demi mengharap ada suatu kebangunan yang sejati? Merekakah yang bodoh? Atau para penghina mereka yang bodoh? Tetapi mungkin yang lebih bodoh adalah orang yang setuju dengan mereka tetapi tidak mewarisi semangat yang sama. Yang mengamini perlunya sebuah kebangunan rohani dengan mulut, tetapi tidak dengan hati, dedikasi, dan kerelaan berkorban. Mengapakah kebangunan rohani diperlukan? Karena gereja Tuhan sedang kehilangan identitas jika dia terus menerus melupakan firman. Jikalau pekerja-pekerja bagi kegiatan “kegilaan rohani” begitu giat, di manakah pejuang-pejuang sebuah kebangunan rohani yang sejati? Pejuang-pejuang yang digerakkan oleh kekaguman kepada Tuhan dan belas kasihan kepada gereja Tuhan yang sedang lesu dan tersesat.

Endnotes:
[1] Institutes I.I.1.
[2] Michel Foucault, History of Madness (London: Routledge, 2009), hlm. 32.
[3] History of Madness hlm. 29.
[4] Band. 2 Korintus 10:12.
[5] Institutes I.I.1.
[6] Institutes I.IV.2.
[7] Institutes I.IV.3.
[8] Band. Mazmur 51.
[9] Band. Matius 18:6.
[10] Band. Lukas 1:48.
[11] Band. Lukas 18:13.
[12] Institutes I.II.2.
[13] Institutes I.II.2.

Bangian Dua

Tuhan memanggil Israel keluar dari Mesir. Setelah itu Tuhan memberikan Taurat kepada mereka di Gunung Sinai. Peristiwa luar biasa yang sangat spektakuler. Peristiwa yang juga membuat heran. Mengapa? Sebab Allah menyatakan diri sekaligus menyembunyikan diri-Nya. Allah memberikan firman-Nya, suatu pernyataan diri-Nya yang demikian intim sehingga tidak diberikan kepada siapapun kecuali umat-Nya. Tetapi pada saat yang sama juga gunung itu dipenuhi asap. Gelap gulita melingkupi puncak Gunung Sinai ketika firman diberikan sehingga tidak seorang pun dapat tahan. Tidak seorang pun dapat melihat dengan jelas. Semuanya tersembunyi di dalam kegelapan. Perkataan Salomo ratusan tahun kemudian sangat tepat untuk menggambarkan peristiwa ini: Allah menetapkan matahari, tetapi Dia memutuskan untuk berdiam di dalam kekelaman.[1] Mengapa demikian? Tuhan menyatakan diri-Nya sebagai Allah yang berbicara kepada umat-Nya melalui Taurat yang akan diberikan. Tetapi Dia juga menyatakan bahwa perjumpaan-Nya dengan umat-Nya dengan pemberian Taurat ini belumlah sempurna. Akan ada perjumpaan yang sempurna di dalam Injil. Itulah sebabnya penulis Ibrani mengatakan bahwa kita datang ke Yerusalem surgawi yang merupakan suatu kumpulan yang meriah.[2] Bukan suatu kumpulan yang penuh dengan misteri dan kegentaran. Maka Taurat diberikan oleh Tuhan sebagai pernyataan diri Tuhan yang menyatakan sifat-sifat-Nya sekaligus menyatakan penantian kegenapan pernyataan diri itu di dalam Kristus yang akan datang. Jadi mengapakah Taurat diberikan oleh Tuhan? Supaya orang Israel tahu bagaimana harus hidup dengan lebih bijak daripada bangsa-bangsa lain. Taurat membuat seseorang hidup lebih bijak.[3] Mengapa demikian? Karena Taurat Tuhan adalah peraturan-peraturan moral yang menyatakan sifat Tuhan sendiri. Pertanyaan yang pernah diajukan ribuan tahun yang lalu oleh Socrates dalam dialog Plato, Euthyphro, didamaikan oleh pengertian Taurat yang menyatakan sifat Tuhan. Socrates mempertanyakan di dalam dialog tersebut, apakah orang-orang kudus itu disukai para dewa karena kekudusannya? Ataukah mereka menjadi kudus karena disukai oleh para dewa? Atau, setelah dialog ini dimodifikasi dalam dunia etika, apakah sesuatu yang baik itu baik pada dirinya sendiri, dan karena itu disukai para dewa? Ataukah yang baik itu menjadi baik karena disukai para dewa? Dewa tunduk pada prinsip abstrak tentang yang baik? Ataukah yang baik itu ditentukan oleh para dewa? Tetapi perdebatan ini terjadi karena pengertian “baik” yang abstrak.

Apakah yang abstrak itu? Yang abstrak berarti tidak berkait dengan pribadi. Yang bukan pribadi tidak mungkin mengatur yang bersifat pribadi. Peraturan abstrak menjadi absurd untuk ditaati. Tetapi tidak demikian dengan Taurat. Taurat menyatakan sifat Allah. Dengan demikian tujuan orang Israel menaati Taurat adalah agar mereka dapat mempunyai hidup yang kudus, yaitu yang makin menyerupai Tuhan, dan juga agar mereka makin mengasihi Tuhan, yang adalah pemilik sifat-sifat yang dinyatakan di dalam Taurat itu. Calvin telah memahami hal ini ketika dia mengatakan, “…di dalam Taurat kita diajarkan kesempurnaan dari kebenaran, maka inilah yang menyusul: menjalankan dengan komplit seluruh Taurat adalah kebenaran yang sempurna bagi Allah.”[4] Adakah kebenaran yang sempurna di luar sifat moral Allah? Tidak. Maka orang Israel diharuskan menaati Taurat bukan dalam kaitan dengan keselamatan saja, tetapi dalam kaitan dengan menjadi semakin menyerupai Allah. Menyatakan kemuliaan sifat Allah melalui menaati Taurat adalah tujuan Tuhan memanggil umat-Nya. Tetapi ternyata Calvin melihat hal yang lebih dalam. Karena selain membentuk umat Tuhan menjadi makin menyerupai Tuhan, Taurat juga membuat umat Tuhan makin mengasihi, mengagumi, dan merindukan Tuhan. Inilah sebabnya Calvin mempunyai konsep mengenai Taurat yang adalah penuntun bagi kerinduan akan Kristus. Lalu apakah kaitan hal ini dengan kebangunan yang sejati? Kebangunan yang sejati harus mempunyai hasil ketaatan kepada Taurat sekaligus kekaguman kepada Tuhan. Lalu mengapa Gereja perlu kebangunan? Karena kalau Gereja tidak mempunyai karakter moral yang baik, atau kalau Gereja memiliki karakter moral yang baik tetapi abstrak, maka Gereja sedang tertidur dan perlu dibangunkan. Inilah konsep Calvin yang akan menjadi pembahasan dalam tulisan kali ini.

2. …tidak seorang pun dapat berpegang kepada anugerah Injil tanpa meninggalkan kesalahan-kesalahan hidupnya yang lama dan berpindah kepada jalan yang benar, serta melakukan dengan sekuat tenaga tindakan-tindakan pertobatan. (Inst. III.III.1.)
Setelah membahas mengenai dampak dari kebangunan rohani yang memberikan kesadaran akan dosa, apakah yang menjadi kelanjutannya? Dampak selanjutnya yang harus menyertai sebuah kebangunan rohani adalah perubahan hidup dari komunitas Kristen. Kesadaran akan dosa yang palsu tidak ada gunanya. Jika seseorang menyadari dia berdosa tetapi tidak merasa muak, benci, dan dengan segenap hati ingin meninggalkannya, maka dia belum mengalami pertobatan yang sungguh-sungguh. Kesadaran yang sejati akan dosa harus disertai dengan perasaan membenci dosa. Martin Luther membahas empat hal mengenai dosa di dalam penjelasannya mengenai Mazmur 51.[5] Poin terakhir yang dia bahas adalah bahwa manusia menjadi pendosa ketika dia menyadari bahwa dirinya adalah pendosa. Tetapi kalimat yang aneh ini menjadi jelas ketika kita bandingkan dengan poin pertama. Dalam poin pertama Luther mengatakan bahwa setiap manusia adalah pendosa di hadapan Allah dan hal ini terbukti melalui tindakan-tindakannya yang rusak. Berarti secara fakta semua manusia sudah berdosa. Lalu siapakah yang menyadari bahwa dirinya berdosa? Hanya orang yang akan berpaling kepada Allah dan mengharapkan belas kasihan Allah yang menyadarinya. Tidak seorang pun dapat menyadari keberdosaannya hingga level yang sesungguh-sungguhnya kecuali dia kembali kepada Allah dan memohon belas kasihan-Nya. Maka kesadaran akan dosa harus tiba pada level memohon belas kasihan Tuhan. Kesadaran akan dosa akan menjadi identik dengan kenyamanan di dalam dosa jika kesadaran itu tidak disertai dengan hati yang hancur memohon belas kasihan Tuhan. Ini konsep pertobatan yang sejati menurut Martin Luther. Kebangunan rohani adalah ketika pertobatan yang sedemikian terjadi. Tetapi kesadaran ini adalah kesadaran yang diberikan oleh Roh Kudus.[6] Tanpa pekerjaan Roh Kudus maka semua kesadaran akan dosa, semua pengakuan dosa, bahkan semua usaha untuk berubah hanyalah suatu usaha yang dangkal dan sia-sia. Dangkal karena tidak ada yang dapat mengerti betapa merusaknya dosa jika tidak dilihat dengan cara yang sama Allah melihatnya. Sia-sia karena pertobatan yang berusaha dilakukan oleh manusia sama sekali tidak mengubah kerusakan relasinya dengan Allah. Inilah sebabnya Mazmur 51, di dalam pandangan Luther, berbicara tentang permohonan seseorang yang menyadari dosanya kepada Allah dan memohonkan belas kasihan Allah. Permohonan yang didorong oleh kesadaran akan dosa. Kesadaran sejati yang menumbuhkan perasaan benci terhadap dosa yang seharusnya dimiliki oleh hati yang suci. Tetapi bukankah semua manusia memang sudah berdosa? Ya. Tetapi hanya mereka yang menyadarinya dengan benarlah yang akan mencari pengampunan dan memperjuangkan kehidupan di dalam pertobatan.

Bagaimanakah seseorang memperjuangkan kehidupan di dalam pertobatan? Sebelum menjawab ini, mungkin lebih baik kalau kita membahas dahulu pengertian dari pertobatan itu sendiri. Apakah yang dimaksud dengan pertobatan? Calvin mengatakan bahwa pertobatan adalah perubahan hati yang mengagumi kemuliaan Tuhan – kemuliaan diri Allah maupun kemuliaan kasih dan pengampunan-Nya. Calvin mengatakan, “Mengenal Allah, sejauh yang saya pahami, adalah suatu pengertian yang tidak hanya mencakup menerima bahwa ada Allah, tetapi juga mencakup apa yang seharusnya kita berikan dan yang pantas bagi kemuliaan-Nya, dan juga apa yang menjadi keuntungan kita dengan mengenal Dia.”[7] Mengagumi Allah karena Dia adalah Allah, sekaligus mengagumi Dia karena segala berkat yang diberikan kepada kita. Tuhan menyatakan kemuliaan-Nya dengan cara yang bersifat supranatural sehingga setiap mulut segera mengakui betapa tidak layaknya setiap orang di hadapan Tuhan.[8] Tetapi Tuhan juga menyatakan pemeliharaan-Nya sehingga setiap mulut mengakui besarnya kasih-Nya dan segera berbalik dari dosa-dosa mereka.[9] Maka pertobatan yang sejati adalah perubahan hidup yang didorong oleh kesadaran akan dosa, kesadaran akan kemuliaan Tuhan, dan kesadaran perlunya hidup yang berpadanan dengan kemuliaan Tuhan. Semua inilah yang dirangkum oleh Calvin di dalam konsep agama yang sejati – agama yang dilandaskan oleh kesalehan. Apakah kesalehan itu? Bagi Calvin kesalehan adalah “…rasa hormat yang digabung dengan cinta kasih kepada Allah yang dibangkitkan oleh kesadaran akan berkat-berkat-Nya. Sebab sebelum manusia sadar bahwa mereka berhutang segala sesuatu kepada Allah, bahwa mereka dipelihara oleh pemeliharaan Allah Bapa, dan bahwa Dia adalah sumber dari segala hal yang baik yang telah mereka terima, dan bahwa mereka tidak mungkin mencari apa pun yang baik di luar Dia, maka mereka tidak akan pernah mau sungguh-sungguh melayani Dia.”[10]

Jadi pertobatan itu identik dengan kesungguhan untuk menjalankan hidup yang saleh. Tetapi bagaimanakah caranya? Calvin mengatakan bahwa semua ini hanya dapat dilakukan dengan kembali ke Taurat. Inilah konsep Calvin yang dikenal dengan kegunaan ketiga dari Taurat. Sebelumnya Luther telah membagikan dua kegunaan dari Taurat, yaitu untuk mengarahkan orang kepada Kristus dan untuk mengekang kejahatan di dalam dunia ini. Lalu apakah kegunaan ketiga dari Taurat menurut Calvin? Calvin mengatakan bahwa kegunaan ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah percaya kepada Kristus. “Kegunaan ketiga dan terutama, yang merupakan kegunaan yang paling tepat dari Taurat, menemukan tempatnya di antara orang-orang percaya yang di dalam hatinya Roh Kudus Allah hidup dan bertakhta.”[11] Calvin membeberkan kegunaan tersebut dengan kalimat-kalimat ini ketika mengomentari Mazmur 119: “Di sini [Mazmur 119:5] Sang Nabi menyatakan kegunaan yang agung dari Taurat: melalui pembacaan Tauratlah Tuhan memberikan pengajaran-Nya. Dia juga sekaligus memberikan kesiapan untuk menaatinya di dalam diri orang-orang percaya. Orang-orang percaya berpegang bukan saja pada hukum-hukum tersebut, tetapi juga janji akan anugerah yang ada di dalamnya. Sebab apakah yang dapat dikasihi dari Taurat jika hanya dipenuhi dengan ancaman yang menggelisahkan jiwa di dalam ketakutan? Tetapi Daud menunjukkan bahwa di dalam Taurat dia melihat Sang Penebus, yang tanpa Dia tidak akan ada kesukaan dan hal-hal yang manis.”[12]

Dalam pengertian Calvin inilah kita melihat ada dua hal mengenai Taurat. Yang pertama adalah Taurat mengandung perintah-perintah yang harus ditaati. Tuhan menyatakan kehendak-Nya yang harus ditaati oleh orang percaya. Tuhan juga menyatakan janji-Nya sebagai pernyataan kasih karunia-Nya bagi orang percaya. Tetapi janji ini adalah sesuatu yang akan digenapi di dalam Kristus. Dengan demikian janji tersebut hanya dapat menghibur orang percaya jika dikaitkan dengan pribadi Kristus. Maka Taurat Tuhan menyatakan kehendak Tuhan yang harus ditaati dan juga, yang terutama, menyatakan pribadi Kristus yang harus dikasihi dan dikagumi. Inilah mengapa kesalehan, yang dinyatakan oleh Calvin sebagai ketaatan yang menggabungkan hormat dan kasih, hanya dapat ditumbuhkan melalui firman Tuhan. Taurat menyatakan perintah yang harus ditaati. Taurat juga menyatakan Kristus yang adalah kegenapan dari janji dan anugerah Allah.

Calvin mengatakan bahwa sebelum genap waktunya, Taurat menuntun orang-orang Israel untuk dapat tiba kepada pengenalan akan Kristus yang intim. Demikian kalimat Calvin, “Karena mereka belum tiba pada pengenalan akan Kristus secara intim, mereka menjadi seperti anak-anak yang di dalam kelemahannya belum sanggup untuk menanggung pengenalan yang penuh dari hal-hal surgawi.”[13] Taurat bukanlah sebagai alternatif dari iman kepada Kristus, tetapi justru untuk mempersiapkan umat Tuhan untuk masuk ke dalam relasi yang intim dengan Kristus.[14] Jadi Taurat mempunyai kegunaan untuk mengajar umat Tuhan untuk hidup dengan benar dan juga berelasi dengan benar dengan Kristus. Mendengar firman untuk apa? Untuk ditaati. Itu saja cukup? Tidak! Karena mendengar firman juga berarti mempersiapkan relasi dengan Kristus. Relasi kasih. Relasi yang didorong oleh gairah yang sepenuh hati untuk menyenangkan Dia yang dikasihi. Ketaatan tanpa relasi dengan Kristus adalah ketaatan yang kosong dan kering, ketaatan Farisi yang luar biasa munafik. Kasih dan relasi yang intim dengan Kristus tanpa ketaatan juga adalah bohong. Kasih dan relasi yang kosong dan pura-pura. Tetapi jika Taurat adalah penuntun orang Israel untuk sampai kepada Kristus, maka bagaimana dengan kita yang hidup setelah Kristus datang? Taurat adalah penuntun yang berfungsi sama bagi kita karena, sama seperti dahulu Israel dibimbing oleh Taurat untuk menantikan kedatangan Kristus, demikian juga saat ini kita memerlukan bimbingan untuk menantikan kedatangan kedua Kristus. Jangan lupa kalau pengharapan Israel adalah menantikan Kristus yang mulia. Kedatangan pertama Kristus baru menggenapi sebagian dari pengharapan ini! Masih akan ada kedatangan kedua! Apakah kita menantikan kedatangan kedua? Jika demikian Taurat juga adalah penuntun bagi kita untuk dapat tiba kepada pengenalan yang intim akan Kristus yang akan datang. Inilah guna Taurat bagi kita: menguatkan kita sehingga kita tidak menjadi lelah karena penantian yang demikian lama.[15]

Jadi mengapakah Gereja memerlukan kebangunan? Karena hidup yang baik, yang dijalankan di dalam ketaatan kepada Tuhan harus dimiliki oleh Gereja. Mengapa perlu kebangunan? Karena hati yang menyala-nyala bagi Kristus adalah hal yang perlu terus diperbarui di dalam Gereja. Terus diperbarui hingga Kristus datang. Gereja perlu terus belajar untuk memiliki tingkah laku yang suci dan kecintaan kepada Kristus yang sungguh. Gereja juga perlu belajar untuk mengaitkan keduanya senantiasa. Kalau umat Tuhan tidak mempunyai hidup yang baik, bagaimanakah dunia dapat mempunyai pengharapan untuk melihat teladan hidup yang baik? Kalau Gereja Tuhan tidak mengasihi dan mengagumi Kristus, apakah keunikan Gereja di dalam dunia? Inilah mengapa firman Tuhan dinyatakan kepada umat Tuhan. Untuk meninggikan Anak Allah yang rela merendahkan diri-Nya. Nabi-nabi menyampaikan firman, tetapi bukankah Anak Allah lebih tinggi dari mereka semua? Para utusan menyatakan firman, tetapi siapakah di antara mereka yang kepadanya Allah mengatakan, “Anak-Ku Engkau”?[16] Karena itulah Gereja memerlukan kebangunan. Terlalu banyak hal yang akan segera menarik fokus umat Tuhan dari Kristus. Dalam konsep Luther dan Calvin, pandangan yang sangat rendah akan siapakah manusia berdosa itu (yang sebenarnya adalah pandangan yang sangat akurat) akan membuat manusia berfokus kepada kemuliaan Tuhan. Calvin mengatakan bahwa seseorang tidak akan berada dalam bahaya karena memandang dirinya terlalu rendah, telanjang, kekurangan, dan merana.[17] Mengapa tidak? Karena itulah faktanya. Sebaliknya, jika dia mulai menganggap dirinya tinggi, mulia, dan limpah, maka dia berada dalam dosa yang sangat besar karena menyatakan dirinya layak diberikan kemuliaan yang sebenarnya hanya boleh diberikan kepada Allah.[18] Jadi sebenarnya segala hal yang dapat disebut baik dan mulia yang mengalir dari kehidupan seorang berdosa adalah berasal dari Allah. Menyadari kerusakan diri berarti memuliakan Allah untuk setiap hal yang baik yang tidak mungkin secara natural dapat dihasilkan oleh manusia yang telah jatuh. Di sini dapat kita lihat dampak dari kebangunan rohani yang sejati. Kebencian terhadap dosa membuat seseorang berjuang untuk meninggalkan segala perbuatan cemar yang dahulu senantiasa dilakukan. Kemampuan untuk hidup suci yang mampu dijalani membuat seseorang makin mengasihi dan mengagumi Kristus yang mengerjakan semuanya di dalam diri orang percaya. Kasih dan kekaguman kepada Kristus membuat orang percaya menjalani hidup yang berfokus kepada Allah dengan suatu kerinduan untuk memuliakan Dia sambil terus menyadari ketidaklayakan mereka. Tidak ada pembenaran diri ala Farisi yang memandang rendah orang lain. Orang yang merasa semua orang lain perlu suatu kebangunan rohani kecuali dirinya sendiri adalah orang yang sebenarnya paling merana dan paling perlu kebangunan rohani. Orang yang sibuk mengajak orang lain untuk datang ke KKR, tetapi ketika kebaktian dimulai tidak merasa dirinya adalah salah satu orang yang perlu dibangunkan juga adalah orang yang sedang tidur nyenyak di dalam kesibukannya mengatur KKR. Lebih celaka adalah orang yang berdiri di mimbar berteriak, “Celakalah kamu!” tanpa hatinya turut berteriak, “Celakalah aku juga!” Bukankah bibir Yesaya yang menyerukan celakalah Yerusalem juga adalah bibir yang menyadari kenajisannya sendiri sehingga berseru “Celakalah aku! Aku binasa!”?[19] Kekaguman kepada Kristus tidak pernah bisa paralel dengan membanggakan kesucian diri! Tidak! Kekaguman kepada Kristus selalu berjalan beriringan dengan kesadaran akan kecemaran diri. Tidak seorang pun mengikuti Kristus dengan jubah agung seorang suci. Semua pengikut Kristus mengikuti Dia dengan berjalan terbungkuk karena sedang memikul salib yang hina. Jadi mengapakah Gereja perlu kebangunan? Karena Gereja perlu terus memperbaiki hidup sambil terus menyadari kecemaran dirinya. Semakin seorang Kristen sanggup hidup suci, semakin dia menyadari betapa jahat dan cemar dirinya. Semakin seorang Kristen menyadari betapa jahat dan cemar dirinya, semakin dia meninggikan dan mengagungkan kasih Kristus dan kemuliaan-Nya. Semakin dia mengagungkan kasih dan kemuliaan Kristus, semakin dia mengalami kebangunan. Gereja perlu kebangunan untuk mempunyai pertobatan yang sejati. Perjuangan untuk hidup suci yang dibarengi dengan kekaguman dan kecintaan kepada Kristus. Kekotoran hidup orang-orang Kristen, sekaligus mental Farisi dari orang-orang yang sudah menaati moral secara abstrak harus disingkirkan melalui adanya suatu penyampaian firman Tuhan yang membangunkan kembali Gereja Tuhan.

Endnotes:
[1] Band. 1 Raja-raja 8:12.
[2] Band. Ibrani 12:22.
[3] Band. Mazmur 119:98.
[4] Institutes II.VII.3.
[5] Bernard Lohse, Luther’s Theology and It’s Historical Development (Minneapolis: Fortress Press, 1999) p. 53-55.
[6] Band. Yohanes 16:8-9.
[7] Inst. I.II.1.
[8] Band. Yesaya 6:5.
[9] Band. Kisah Para Rasul 14:15-17.
[10] Inst. I.II.1.
[11] Inst. II.VII.12.
[12] Inst. II.VII.12.
[13] Inst. II.VII.2.
[14] Inst. II.VII.1.
[15] Inst. II.VII.1.
[16] Band. Ibrani 1:1-5.
[17] Inst. II.II.10.
[18] Inst. II.II.10.
[19] Band. Yesaya 6:5.

Bagian Tiga

 

Dalam buku IV Institutes, salah satu pembahasan Calvin adalah mengenai gereja yang ada di dunia ini, gereja yang kelihatan, local church. Gereja ini berfungsi sebagai ibu yang memelihara orang-orang yang telah dilahirkan oleh Roh Kudus di dalam Kristus. Gereja ini mempunyai tugas untuk membuat seluruh jemaat bertumbuh ke arah Sang Kepala, yaitu Kristus. Gereja mengasuh, mendidik, menumbuhkan anak-anak Allah agar setiap mereka terus bertumbuh. Tetapi gereja juga adalah pengantin Kristus. Gereja dipelihara oleh Allah dan dijaga oleh Allah. Ada periode di mana dia seperti begitu jauh dan terhilang. Tetapi periode ini tidak pernah terjadi tanpa adanya pengharapan akan pemulihan. Tuhan tetap membangunkan kembali gereja-Nya. Gereja dipelihara oleh terjadinya kebangunan demi kebangunan karena karya Roh Kudus di dalamnya. Apakah tanda bahwa umat Tuhan sedang dibangunkan? Di dalam beberapa contoh di Perjanjian Lama, salah satu tandanya adalah kerinduan mereka untuk datang beribadah kepada Tuhan. Dalam Kitab Kejadian, kembalinya sebagian kecil dari seluruh ras manusia kepada Tuhan ditandai dengan kalimat pendek, “menyebut nama TUHAN”. Kalimat ini merangkum pengertian adanya penyembahan dan ibadah kepada Tuhan di tengah-tengah dunia yang melupakan Dia. Meskipun orang-orang ini hanyalah sekelompok minoritas yang terkucilkan, tetapi mereka membuktikan pekerjaan Allah sepanjang sejarah yang tetap bekerja memanggil orang-orang kembali kepada Dia dan menyembah dengan benar. Di tengah arus dunia yang telah menjadi jahat, tetap ada orang yang kembali kepada Tuhan dengan penyembahan yang tulus. Lebih lanjut lagi adalah contoh di dalam Kitab Sejarah seperti Samuel dan Raja-raja. Daud ingin menjadikan kerajaannya sebagai kerajaan yang tunduk kepada Allah. Apakah tandanya? Tandanya adalah tabut perjanjian harus dibawa ke pusat pemerintahannya. Raja Hizkia dan Yosia merombak seluruh Yehuda dengan menyingkirkan penyembahan berhala dan kembali menyatakan nama Tuhan sebagai satu-satunya yang layak disembah. Di dalam Kitab Raja-raja, kerajaan Israel dan Yehuda akhirnya dibuang oleh Tuhan karena mereka tidak lagi menyembah Allah yang sejati. Mereka sujud kepada ilah-ilah lain dan melupakan penyembahan yang benar. Calvin menafsirkan periode hancurnya kerajaan Israel dan Yehuda dalam kalimat-kalimat berikut.

“Rakyat Yehuda mengotori diri mereka sendiri dengan kebiasaan-kebiasaan yang jahat dan bersifat takhayul sebelum mereka menyelewengkan bentuk lahiriah dari agama mereka. Sebab walaupun sejak zaman Rehabeam mereka telah banyak mengadopsi ritual-ritual yang sesat, tetapi karena pengajaran Taurat, jabatan Imamat, dan segala ritual yang telah ditetapkan Allah tetap berjalan di Yerusalem, orang-orang saleh tetap memiliki gereja dengan keadaan yang cukup baik. […] Tetapi akhirnya, bahkan para imam sendiri mengotori Bait Allah dengan seremoni-seremoni yang sesat dan menjijikkan.”

Mengapa mereka dibuang? Karena mereka sudah lupa bagaimana beribadah kepada Dia dengan benar. Beribadah… apakah maksudnya? Bukankah seluruh hidup kita merupakan rangkaian ibadah kepada Tuhan? Benar. Tetapi di dalam konsep Calvin di atas, tindakan dalam hidup sehari-hari adalah cerminan dari bagaimana seorang bersikap ketika dia datang di dalam kebaktian kepada Allah yang sejati. Tuhan belum membuang Yehuda secepat Tuhan membuang Israel Utara. Mengapa? Karena di Yehuda masih ada Yerusalem, Bait Suci, Imam yang menjalankan tugas mereka, dan umat yang beribadah dengan benar. Tetapi ketika hal-hal ini hilang, maka Yehuda pun sudah menjadi dekat kepada kehancurannya. Tetapi Tuhan tidak akan tinggal diam. Dia akan merestorasi kembali kerajaan-Nya itu. Inilah restorasi yang Tuhan kerjakan melalui kebangunan tersebut. Inilah juga sebabnya Yehezkiel melihat kuasa kehidupan ilahi menghidupkan tulang-belulang yang telah kering. Inilah periode kebangunan itu. Periode di mana penyembahan yang hampa dan kosong digantikan dengan penyembahan yang sepenuh hati. Penyembahan yang lesu dan tidak bergairah digantikan dengan seruan hati dari orang-orang yang ingin berlari mendahului orang-orang lain seperti dalam Mazmur 42.

Jadi tanda kebangunan tidak berhenti pada kesadaran akan dosa setelah seseorang mengenal kebenaran firman. Tanda kebangunan juga tidak berhenti setelah adanya tingkah laku yang disucikan karena menantikan kedatangan Kristus. Tanda kebangunan juga mencakup kembalinya penyembahan yang benar kepada Allah. Tetapi seperti apakah penyembahan yang benar kepada Allah? Penyembahan yang benar kepada Allah harus keluar dari jiwa yang hanya berfokus kepada kemuliaan Allah.

3. “…kita dikhususkan dan didedikasikan untuk Allah sehingga kita tidak dapat berpikir, berbicara, merenung, dan melakukan apapun kecuali untuk kemuliaan Dia.” (Inst. III. VII. 1.)
Tidak ada kebangunan sejati yang dapat terjadi tanpa adanya penyembahan yang benar, di mana penyembahan ini terekspresikan dalam kebaktian-kebaktian untuk menghormati dan menyembah Allah yang sejati. Lalu apakah kebaktian kebangunan rohani itu? Dapatkah kebangunan rohani dipastikan terjadi karena adanya kebaktian-kebaktian kebangunan rohani? Tidak. Dapatkah kebangunan rohani dipastikan terjadi dengan metode-metode mempersiapkan KKR yang sesuai dengan SOP? Tidak! Lalu mengapa mengadakan kebaktian kebangunan rohani? Dalam NREC 2004, Pdt. Dr. Stephen Tong berbicara mengenai kebangunan. Apakah kebaktian kebangunan rohani yang sejati itu? Kebaktian kebangunan rohani yang sejati adalah kebaktian yang diadakan demi mengharapkan adanya kebangunan yang sejati terjadi. Dapatkah terjadi? Dapat. Dapatkah dipastikan? Tidak. Kalau tidak pasti berarti bisa saja tidak terjadi kebangunan… kalau tidak terjadi kebangunan bagaimana? Kalau tidak terjadi kebangunan maka setidaknya kita sudah kerjakan apa yang bisa kita kerjakan. I’ve done what I can. Maka merencanakan kebaktian kebangunan rohani yang sejati adalah kegiatan yang mempersiapkan sebuah kebaktian dengan harapan Tuhan bekerja di dalamnya. Bisakah kebaktian ini dilakukan dengan sembarangan? Tentu tidak. Bisakah kebaktian ini dilakukan dengan mengaturnya sedemikian rupa sehingga terlihat seperti nightclub? Tidak mungkin bisa! Bisakah kebaktian ini dilakukan dengan bentuk yang sangat mirip dengan sebuah konser musik pop? Tidak bisa! Lalu apakah yang bisa dilakukan? Yang bisa dilakukan adalah mempersiapkan suatu kebaktian yang mendorong orang-orang yang datang untuk hormat dan sujud kepada Allah. Hormat, sujud, menyatakan kemuliaan bagi Allah, serta mendengar Dia berbicara. Seluruh rangkaian kebaktian adalah pernyataan kemuliaan Tuhan dan juga respons karena menyadari kemuliaan Tuhan. Inilah kebaktian yang sejati, dan kebaktian kebangunan rohani tidak mungkin boleh berbeda dari itu. Kebangunan sejati hanya mungkin terjadi dari kebaktian yang sejati. Tetapi apakah tidak mungkin ada individu-individu yang akhirnya mengenal Tuhan, mengasihi Tuhan dan kembali kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh dari kebaktian yang tidak sempurna? Untuk menjawab ini kita perlu membahas dua hal. Hal yang pertama adalah kebangunan sejati tidak identik dengan pertobatan individu saja. Kebangunan sejati adalah kebangunan gereja Tuhan. Kebangunan umat Tuhan. Ketika Tuhan merasa perlu membangkitkan kembali umat-Nya karena umat-Nya telah tersesat dan jauh dari Tuhan, apakah ini berarti pada waktu itu tidak ada orang yang sungguh-sungguh beriman? Pasti ada. Lalu mengapa tetap perlu kebangunan? Karena Tuhan mau bekerja, membangkitkan kembali umat-Nya secara besar. Untuk apa Elia menangis? Bukankah masih ada 7.000 orang yang tidak pernah menyembah Baal? Untuk apa Tuhan membuang umat-Nya? Bukankah masih ada 7.000 yang setia? Elia menangis dan Tuhan membuang umat-Nya karena umat-Nya secara total meninggalkan Tuhan, menghancurkan mezbah Tuhan, menyembah baal, membunuh nabi-nabi Tuhan. Lalu apa signifikansi yang 7.000 itu? Merekalah alasan Tuhan akan merestorasi umat-Nya. Jika masih ada sebagian kecil orang yang tetap setia kepada Tuhan, inilah harapan bahwa suatu saat nanti Tuhan akan merestorasi umat-Nya. Harapan bahwa Tuhan akan membangunkan umat-Nya.

Hal kedua yang perlu diingat adalah tidak ada satu pun kebaktian yang dapat dikatakan sebagai kebaktian yang sempurna. Sempurna dalam segala hal… apakah mungkin? Jika tidak mungkin lalu kebaktian yang seperti apakah yang dapat disebut sebagai kebaktian yang benar? Saya tidak akan membahas mengenai musik yang benar, tata ibadah yang benar, letak mimbar, dan lain-lain. Semua itu di luar kemampuan pengetahuan saya maupun pembahasan tulisan ini. Tetapi yang menjadi pembahasan kali ini adalah motivasi seseorang ketika datang mengikuti ibadah. Yang saya maksudkan bukanlah motivasi awal seseorang mau datang kebaktian. Jika sebuah kebaktian mengharapkan untuk menjangkau orang belum percaya, bagaimana mungkin mengharapkan orang belum percaya menjadi orang yang datang ke kebaktian dengan semangat Mazmur 42? Tidak mungkin. Tetapi apakah yang kita harapkan terjadi pada orang itu? Kita mengharapkan adanya perubahan. Kita mengharapkan mereka bertemu kemuliaan Allah. Kemuliaan Allah yang dinyatakan melalui firman dan melalui seluruh rangkaian kebaktian yang memang dirancang dengan segenap kekuatan dan doa untuk mampu menyatakan kemuliaan tersebut dengan sebesar-besarnya. Inilah yang diharapkan. Jadi kebaktian yang sejati adalah kebaktian yang, dengan motivasi setulus-tulusnya dari orang-orang yang terlibat untuk menyelenggarakannya, bertujuan untuk membuat orang-orang yang hadir menyadari kemuliaan Allah di dalam kebaktian tersebut.

Kegagalan gerakan-gerakan Karismatik dalam menyelenggarakan kebaktian-kebaktian kebangunan rohani bukanlah kegagalan dalam mengumpulkan orang, tetapi kegagalan untuk memberikan wadah ibadah yang digunakan untuk menghormati dan menyembah Allah yang sejati. Mengapa? Karena hal-hal yang dipamerkan di dalam kebaktian tersebut bukan mau menyatakan kemuliaan Allah. Lalu apa? Pameran kesembuhan, pameran mujizat, pameran orang kerasukan yang dibebaskan, bukankah semuanya ini menyatakan kemuliaan Allah? Tidak. Mengapa tidak? Karena di dalam Kitab Suci, Paulus menyatakan bahwa kemuliaan Allah hanya bisa dipahami dan dikagumi melalui Kristus yang telah dikirim oleh Allah untuk mati disalib. Paulus menekankan tiga hal. Salib, kematian, dan kebangkitan yang menyusul. Salib Kristus, kematian Kristus, dan kebangkitan-Nya yang terjadi setelah itu merupakan inti dari ajaran yang disampaikan oleh Paulus. Mengapa ini penting? Bukan saja karena salib, kematian, dan kebangkitan Kristus adalah jalan bagi keselamatan kita, tetapi karena salib, kematian, dan kebangkitan Kristus adalah lambang ketaatan dan kemuliaan yang diperoleh setelah ketaatan tersebut. Lambang ketaatan yang menjadi berkat karena menyatakan kemuliaan Allah secara penuh. Dengan demikian salib dan kematian Kristus menjadi lambang bagaimana kemuliaan Allah dinyatakan melalui ketaatan mutlak, dan kebangkitan Kristus menjadi lambang bagaimana janji Allah pasti diterima oleh setiap orang yang taat kepada Dia. Karena Dia taat maka Allah dipermuliakan. Karena kita taat maka Allah dipermuliakan. Itulah sebabnya salib dan kematian Kristus tidak boleh hanya dipandang dari sisi soteriologi saja. Salib dan kematian secara paradoks menyatakan kemuliaan Allah dan kerelaan untuk taat secara sempurna demi kemuliaan itu tercapai. Calvin mengatakan,

“Kita bukan lagi milik kita sendiri: maka janganlah biarkan pikiran dan kehendak kita menyimpangkan rencana dan tindakan kita. Kita bukan lagi milik kita sendiri: maka janganlah biarkan kita menempatkan tujuan kedagingan kita sebagai sesuatu yang akan kita cari. Kita bukan lagi milik kita sendiri: sejauh yang kita bisa, mari kita melupakan diri kita dan semua yang adalah milik kita.”

Kristus telah menjadi teladan bagaimana harusnya menjalankan hidup di dunia ini. Dia yang adalah Allah sejati, rela mengosongkan diri, dan mengambil rupa seorang hamba. Sedangkan kita yang adalah hamba malah berusaha meninggikan diri dan mau menjadi seperti Allah. Tetapi contoh yang dinyatakan oleh Kristus sebenarnya adalah contoh mengenai jalan satu-satunya bagi perbaikan hidup di dunia ini. Sedangkan keinginan untuk menjadi Allah adalah motivasi perusak yang menjerumuskan seluruh manusia ke dalam hidup yang penuh dengan kesia-siaan. Tetapi lebih dari itu, salib dan kematian Kristus juga adalah pernyataan kemuliaan yang begitu besar. Begitu sempurna sehingga pertunjukan mujizat besar seperti laut yang terbelah, roti yang turun dari surga, dan juga sepuluh tulah yang menghancurkan bangsa besar yang melawan Tuhan tidak lagi perlu menyertai pelayanan Kristus. Seluruh pertunjukan itu diubah menjadi lambang dari kedatangan-Nya sehingga dengan demikian, pribadi Kristus yang mulia sudah cukup dan tidak lagi perlu dibarengi oleh pertunjukan besar tersebut. Tetapi bukankah Kristus juga melakukan mujizat? Bahkan lebih daripada siapa pun di dalam Kitab Suci. Benar. Tetapi mujizat tersebut bukan tandingan dari apa yang dilakukan Musa jika diukur dari dampak di dunia ini. Orang Yahudi mengatakan bahwa mereka diberikan roti dari surga oleh Musa. Tuhan Yesus mengatakan bahwa Dialah roti yang turun dari surga. Roti yang pertama terlihat besar karena mampu memelihara sebuah bangsa hingga puluhan tahun. Tetapi Roti Hidup, walaupun terlihat begitu kecil dibandingkan dengan roti di padang gurun tersebut, adalah Roti yang akan memberi hidup kekal. Pernyataan kemuliaan Allah dinyatakan oleh Kristus dan juga dicontohkan oleh Kristus. Dengan demikian ketika kita melihat Kristus kita mengagumi Allah dan meneladani Dia dalam usaha untuk menyatakan kemuliaan Allah dalam hidup kita. Dengan demikian, setelah mengerti pernyataan Kitab Suci yang menyatakan Kristus, kita menjadi orang-orang yang mengambil langkah pertama untuk meninggalkan diri sendiri supaya mampu mengarahkan seluruh kekuatan kita untuk melayani Tuhan. Calvin mengatakan bahwa orang yang sungguh-sungguh beriman tidak akan “…mencari hal-hal yang merupakan milik kita sendiri, tetapi hal-hal yang berasal dari kehendak Tuhan, dan akan melayani untuk menyatakan kemuliaanNya.” Inilah orang-orang yang akan terhindar dari semua pikiran yang sia-sia. Inilah cara Allah dipermuliakan. Allah tidak dipermuliakan dengan seruan decak kagum seperti yang keluar dari mulut orang yang nonton sirkus. Allah bukan pemain sirkus! Allah dipermuliakan dengan seruan bertobat dari seseorang yang tadinya hidup bagi diri sendiri tetapi sekarang ingin hidup bagi kemuliaan Allah. Jadi kalau ada orang yang berseru “Haleluya!!” karena melihat ada orang lumpuh tiba-tiba loncat-loncat, maka ini adalah seruan mulia yang diturunkan derajatnya hingga sama dengan seruan “bravo!!” dari orang-orang yang melihat seorang pelempar pisau menghujamkan pisaunya mengenai kartu yang diletakkan di atas kepala seorang gadis. Tetapi kalau yang diserukan adalah seruan pertobatan yang sejati, maka inilah seruan yang menjadi awal dari serangkaian hidup yang diperjuangkan untuk memuliakan Allah. Jadi kebaktian kebangunan rohani harus mempersiapkan jemaat untuk menghormati Allah, memuliakan Dia, dan tidak ingin lagi hidup bagi diri sendiri. Tidak ada seorang pun yang dapat menyelenggarakan kebaktian sedemikian secara sempurna. Tetapi bila tujuan kita demikian, didorong oleh motivasi yang suci, dan disokong oleh kerelaan berjuang dan berkorban bagi kebaktian sedemikian, maka inilah kebaktian yang benar.

Apakah gereja memerlukan kebangunan? Selama kebaktian di gereja-gereja difokuskan untuk menampung gairah kedagingan manusia berdosa, maka gereja masih perlu kebangunan. Bayangkan apa jadinya jika gereja mempunyai ruang kebaktian yang dihiasi lampu seperti diskotek? Bukankah ini akan menarik banyak orang-orang muda keluar dari diskotek? Sulit. Mengapa sulit? Sebab gereja harus juga menambah rokok, alkohol, narkoba, dan juga perempuan-perempuan sewaan supaya bisa menandingi diskotek-diskotek paling populer. Apalagi jika sekali waktu mengadakan tarian telanjang. Mungkin lebih banyak lagi orang-orang dunia hitam akan datang. Jika kebaktian disulap untuk memuaskan sifat kedagingan manusia, bagaimana mungkin kebaktian itu mengharapkan adanya perubahan hilangnya sifat kedagingan tersebut? Tetapi mungkin mereka akan bertanya, “Jika kebaktian itu tidak disukai orang dunia, bagaimana mungkin orang dunia akan datang?” Saya akan menjawab bahwa menyenangkan Tuhan akan lebih mempunyai harapan terjadinya kebangunan ketimbang menyenangkan massa. Jadi mengapakah gereja perlu kebangunan? Karena gereja perlu kembali kepada kebaktian-kebaktian yang diadakan dengan motivasi mau mengubahkan orang. Mau membuat mereka mengagumi kemuliaan Tuhan dan menundukan diri di dalam kerendahan di hadapan Tuhan.

Tetapi ada lagi alasan mengapa gereja memerlukan kebangunan. Jika banyak gereja yang menyelenggarakan kebaktian dengan musik mirip pesta orgy sudah pasti perlu bertobat, maka ada juga gereja yang sangat lesu di dalam ibadah yang juga perlu kembali bertobat. Kebaktian yang dihadiri oleh orang-orang yang perjuangan beratnya adalah menahan kantuk. Kebaktian yang dihadiri oleh orang-orang yang menyanyi seadanya, berdoa seadanya, persembahan seadanya, sediakan waktu seadanya. Ini juga adalah gereja mati yang perlu kebangunan sejati! Gereja yang tidak ada gairah dalam menyembah Tuhan adalah gereja dari orang-orang yang tidak tergerak untuk kebaktian. Mengapa datang? Karena kalau tidak datang dianggap tidak suci. Apalagi sudah jadi majelis. Masak majelis tidak ke gereja? Jadi orang-orang beribadah karena ini adalah kegiatan rutin hari Minggu. Sama seperti upacara bendera adalah kegiatan rutin hari Senin di sekolah. Gereja yang menyembah Tuhan dengan hati yang hanya sedikit berada di atas level tidak peduli adalah gereja mati. Tetapi jangan lupa untuk mengoreksi diri sendiri. Jika ada gereja dengan jumlah kehadiran baru mencapai jumlah penuh satu menit sebelum khotbah, apakah ini gereja yang sudah mengalami kebangunan? Jika 15 menit setelah kebaktian mulai kursi-kursi kosong masih begitu banyak, tetapi satu menit sebelum Pdt. Dr. Stephen Tong naik mimbar, tiba-tiba, seperti disulap, kursi-kursi menjadi penuh terisi, apakah ini gereja yang sudah dibangunkan? Orang-orang yang datang dengan motivasi untuk mendengar khotbah tetapi tidak dengan motivasi mau menyembah Tuhan adalah orang-orang yang tertidur, tetapi sedang mimpi bahwa dia adalah orang yang sedang membangunkan orang lain. Di manakah gairah untuk memuji Tuhan? Di manakah gairah untuk berdoa? Di manakah hati yang menghormati Tuhan dengan mengikuti seluruh rangkaian ibadah dengan lengkap? Di manakah hati yang rindu untuk datang menghadap Tuhan dengan seluruh jiwa? Kalau ini tidak ada dalam sebuah gereja, maka gereja itu perlu kebangunan. Karena itu, di dalam KKR di Stadion Utama Gelora Bung Karno, jangan lupa untuk menjangkau satu gereja besar bernama GRII. Gereja yang, ironisnya, sebagian jemaatnya sangat bergairah untuk datang kepada Tuhan dan rindu akan terjadinya kebangunan, tetapi sebagian lain hanyalah golongan ningrat ngantuk yang menjadi penggemar Pdt. Stephen Tong, tetapi tidak menggemari Tuhan. Mari berdoa dengan rendah hati supaya Tuhan membangunkan kita semua. Bukan hanya orang per orang. Bukan hanya satu gereja. Tetapi seluruh gereja boleh sungguh-sungguh dibangunkan. Sungguh-sungguh menyadari dosa, sungguh-sungguh hidup suci karena menantikan Kristus, dan sungguh-sungguh mau datang beribadah di dalam pertemuan-pertemuan kebaktian yang berfokus pada kemuliaan Tuhan. Mari berdoa untuk kebaktian-kebaktian yang diselenggarakan dengan motivasi yang murni, yang kerinduan utama dan satu-satunya, adalah supaya Tuhan berkenan pakai untuk membangunkan gereja-Nya, dan melalui gereja-Nya kota-Nya, dan melalui kota-Nya bangsa-Nya ini. Kiranya Tuhan berkenan mendengar doa-doa kita.