Awas! Ada Mertua Galak!


A: Siapa wanita dalam Alkitab yang paling bahagia?

B: Ester, Miryam ….

A: Salah! Yang betul adalah Hawa.

B: Lho… mengapa Hawa?

A: Karena Hawa tidak punya mertua!

 

Itulah sebuah anekdot negatif tentang mertua. Banyak orang memunyai

gambaran buruk tentang mertua. Biasanya mertua, lebih-lebih ibu

mertua, digambarkan sebagai galak, bawel, cerewet, dan serba mau

tahu. Akibatnya, hubungan menantu dan mertua sering digambarkan

sebagai menegangkan dan sewaktu-waktu dapat meledak menjadi

keributan.

 

Perasaan-perasaan apa yang sebenarnya banyak melatarbelakangi

hubungan menantu dan mertua? Mari kita telaah dari sudut pandang

mereka masing-masing.

 

Cobalah tempatkan diri kita pada perasaan seorang ibu mertua. Sudah

lebih dari 25 tahun ia merawat putranya. Ialah yang melahirkan,

membesarkan, dan mendidik putranya. Masih segar ingatannya tentang

masa kecil putranya: ketika dalam kelelahan dan kelegaan setelah

bersalin ia melihat putranya yang kecil mungil, ketika putranya

jatuh dari pohon jambu, hari pertama putranya masuk taman

kanak-kanak, kecemasannya ketika putranya mengalami demam sangat

tinggi berminggu-minggu, bahwa ia pernah memukul putranya ketika ia

bandel, ah begitu banyak kenangan…. Ia ingat betapa hangatnya

perasaan mendekap, membelai, dan mencium putranya itu. Tetapi

sekarang keadaan sudah berubah. Putranya sudah menjadi suami

seseorang. Ia sepenuhnya menyadari hal ini. Dengan hati tulus ia

bersyukur bahwa putranya telah mendapat istri. Namun, di pihak lain,

kadang-kadang ada perasaan yang kurang enak. Entah, apa namanya

perasaan itu. Ya, semacam perasaan cemburu, tetapi bukan dalam arti

yang buruk. Ia mengerti putranya harus memberi waktu sepenuhnya

kepada istrinya, tetapi kadang-kadang agak perih juga rasanya bahwa

si putra seolah-olah sudah melupakan dia. Ada semacam perasaan

khawatir pada sang ibu kalau-kalau putranya kelak akan menelantarkan

dia pada masa tuanya.

 

Selanjutnya, marilah kita tempatkan diri pada perasaan pihak

menantu. Ia merasa canggung tiap kali berhadapan dengan mertuanya.

Ia merasa seolah-olah segala pekerjaannya diperiksa dan dinilai oleh

mertuanya. Rasa kurang pasti menghantui dia: apa gerangan penilaian

mertuanya terhadap apa yang baru dimasaknya. Kadang-kadang ia merasa

rendah diri di depan mertuanya. Ia tidak sepandai mertuanya dalam

hal ini dan itu. Ia takut kalau suaminya lebih memberi perhatian

kepada sang ibu mertua atau ayah mertua ketimbang kepada dia. Ya,

semacam rasa cemburu.

 

Ketika kita menempatkan diri sebagai pihak lain, seperti di atas,

hal tersebut dapat menolong kita untuk lebih berhati-hati, menahan

diri, dan tenggang rasa.

Kita belajar memahami perasaan pihak mertua. Setelah 25 tahun

membesarkan anaknya, sekarang tiba-tiba ia melihat seorang wanita

lain “memiliki” anaknya. Ibu itu merasa kehilangan sasaran untuk

merawat, mengatur, dan mencintai. Ia merasa kehilangan kekuasaan.

 

Kita juga belajar memahami perasaan pihak menantu. Ia sedang membuka

lembaran baru dalam hidupnya: menjadi seorang istri dan ibu rumah

tangga sendiri. Lagipula ia baru mulai menyesuaikan diri dengan

suaminya. Ia merasa terganggu jika diawasi dan diatur oleh

mertuanya.

 

Sebenarnya, jika pihak mertua maupun menantu memahami kedudukan

masing-masing dan juga memahami serta memperhitungkan perasaan satu

sama lain, maka salah paham, ketegangan, atau pertikaian antara

mereka dapat dihindari. Bahkan, tidak mustahil bahwa kedua orang itu

memunyai hubungan yang akrab dan dekat.

 

Dalam cerita Rut dan Naomi kita mendapat kesaksian tentang eratnya

hubungan menantu dan mertua. Ketika kedua putra Naomi meninggal, ia

merelakan kedua menantunya untuk mencari suami baru. Katanya,

“Pergilah, pulanglah masing-masing ke rumah ibunya; … kiranya atas

karunia Tuhan kamu mendapat perlindungan, masing-masing di rumah

suaminya.” …. (Rut 1:8-9) Tetapi Rut tidak mau meninggalkan

mertuanya, “… ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi…”

(Rut 1:16).

 

Hubungan menantu dan mertua memang dapat berkembang menjadi semakin

akrab. Boleh jadi menantu justru lebih terbuka terhadap ibu

mertuanya ketimbang pada suaminya. Atau bisa jadi, menantu itu

merasa seolah-olah mendapatkan seorang ibu kandung sendiri dalam

diri mertuanya.

 

Sebaliknya bukan mustahil pula bahwa mertua merasa mendapat seorang

anak yang bisa dicintainya dalam diri menantunya. Kehadiran

menantunya terasa mencerahkan dan membawa kegembiraan dalam

hidupnya. Cobalah simak perasaan Grace Crowell dalam doa ini:

 

“There are no words that I`m master of

which to thank you, O Lord,

for my son`s wife.

This girl who is part mother in her love

part young girl and part woman in her life.

So gathered up in flame to meet the one who is my son.

I yield him to her

I who have so long

been lovingly preparing him for her.

I would not bind them with one selfish thong

that through its constant chafing might deter

their love upon the high road.

They must be free as the wind is free.

Dear God, I am so grateful that my son in searching for a woman,

found this one.”

 

 

“Tiada kata-kata yang memadai

`tuk kuucapkan syukur kepada-Mu, ya Tuhan,

untuk istri putraku.

Perempuan ini, yang adalah ibu

adalah perempuan muda, dan adalah seorang wanita.

Yang sangat mencintai putraku.

Aku merelakan putraku padanya.

Aku, yang telah begitu lama

menyiapkan putraku dengan penuh kasih sayang untuknya.

Aku tidak akan mengikat mereka dengan egois

yang menghalang-halangi cinta mereka

Mereka harus bebas sebagaimana angin pun bebas.

Ya Tuhan, aku sangat bersyukur bahwa dalam mencari seorang wanita,

putraku telah menemukan wanita ini.”

 

[Puisi dikutip dari: Selamat Ribut Rukun, Dr. Andar Ismail, 2002]

 

PELAJARAN SEBAGAI MENANTU

 

Saat membaca artikel di atas aku langsung berkata dalam pikiranku,

“Ya… bersyukurlah kalau mendapatkan mertua yang seperti itu.

Bayangkan kalau mendapat mertua seperti yang aku alami. Mertua yang

di depan orang selalu berkata yang manis-manis, namun banyak

berpura-pura dan selalu ingin anaknya tidak dirugikan.”

 

Aku tidak bermaksud menjelekkan mertuaku, namun bagi mertuaku, aku

selalu merupakan pihak yang bersalah. Dia tidak merasa bahwa

sikapnya tersebut sangat mengganggu serta mencampuri kegiatan dan

urusan rumah tanggaku. Lebih lagi, dia tahu bahwa suamiku masih

terbiasa bergantung padanya, dan hal itu dimanfaatkannya dengan

memberikan ancaman/tekanan yang sering membuat suamiku menjadi

bingung dan tidak bisa mengambil keputusan. Ceritanya masih panjang,

tetapi yang terpenting adalah aku mau membagikan cara dan jalan yang

telah kutempuh ini, yang akhirnya membuatku bahagia.

 

Melalui pengalaman yang tidak menyenangkan bahkan melukai hatiku

ini, aku malahan bersyukur karena telah mendapat mertuaku ini. Aku

bersyukur karena karakterku bisa berubah menjadi lebih baik,

lebih kuat, dan aku bisa memahami perkembanganku secara pribadi

sebagai wanita, sebagai seorang istri, dan sebagai seorang ibu.

 

Inilah beberapa introspeksi yang aku lakukan untuk mengatasi

persoalan dengan mertua. Cara-cara penyelesaian di bawah ini telah

memerdekakan aku [dari luka hati ini].

 

  1. Aku melakukan koreksi terhadap diri sendiri. Aku sendiri memiliki

kekurangan — keras, kurang bisa menahan emosi dalam menghadapi

mertua, dan emosi yang gampang meledak. Aku sendiri mengalami

kejutan budaya dan banyak penyesuaian yang harus dilakukan antara

aku dan suamiku. Dengan mengoreksi diri sendiri, aku banyak

belajar mengakui kesalahan dan kelemahanku, lalu aku berusaha

berubah untuk memperbaikinya.

 

  1. Aku kurang basa-basi untuk menyegarkan suasana. Aku kurang bisa

berbasa-basi — yang terkadang diperlukan untuk menyegarkan

suasana. Basa basi tidak selalu berarti bersikap munafik;

terkadang etika pergaulan dan komunikasi mengharuskan kita

berkata-kata yang indah dan manis. Maklum, aku dibesarkan di

keluarga campuran yang kurang menerapkan budaya basa-basi. Oleh

karena itu, setelah menikah aku banyak berubah untuk beradaptasi

dengan mereka; tetapi menyesuaikan diri bukan berarti meleburkan

diri menjadi seperti mereka.

 

  1. Aku telah bersedia menikah dengan suamiku, itu berarti aku pun

telah bersedia “menikah” dan bersatu dengan keluarganya.

Pernikahan bukan hanya menyatukan 2 orang, namun juga menyatukan

dua keluarga. Kita harus mengusahakan hubungan kekeluargaan yang

baik. Tujuannya bukan untuk mendapatkan penilaian dari orang lain

bahwa kami keluarga yang baik-baik, namun karena dalam pernikahan

kita memang harus berusaha menyatukan dua pribadi yang berbeda.

Dalam hal ini aku selalu bersabar dengan menguatkan diriku sambil

berkata dalam hati, “Bersabarlah. Cobalah untuk menghargai

mereka, meskipun mereka tidak menghargaiku dan keluargaku seperti

yang aku harapkan.” Aku tetap menghargai perbedaan yang ada tanpa

memandang rendah atau meremehkan pihak lain.

 

  1. Aku tidak lagi terlalu menuntut suatu pernikahan yang indah dan

muluk seperti dalam dongeng. Oleh karena itu, aku telah berdamai

dengan figur “mertua wanita” yang selama ini begitu menghantui

hidupku. Aku bisa menerimanya apa adanya. Dia akan selalu ada

dalam hidup kami, dia adalah ibu yang melahirkan suamiku. Tanpa

dia aku tidak akan bisa bertemu dengan suamiku. Bisa menerima dia

apa adanya akhirnya membuat aku bisa lebih tenang meski kadang

masih ada sakit hati dan kecewa. Jika aku menerima perlakuan

seperti itu, aku bisa melepaskannya untuk “dibawa angin”.

Aku belajar bahwa apa yang bisa diubah dan perlu untuk diubah,

kita harus berusaha mengubahnya. Namun, aku harus berbesar hati

untuk menerima segala sesuatu yang tidak bisa diubah.

 

  1. Aku tahu bahwa mertuaku belum bisa menerima rasa cemburu dan rasa

kehilangan anak kesayangannya. Namun seiring berjalannya waktu,

mertuaku bisa mengerti dan mengambil pelajaran dari

pertengkaran-pertengkaran kami. Semuanya adalah proses hidup yang

banyak memberikan pelajaran bagi saya.

 

  1. Aku berdoa bagi diriku, suami, dan mertuaku. Setiap kali aku

menghadapi dan menerima rasa yang tidak enak, pahit, getir, sesak

di dada, aku berdoa. Aku dengan penuh kejujuran mengatakan kepada

Bapa segala rasa yang aku alami; hanya kepada-Nya aku bisa

terbuka. Segala situasi dan kondisi yang aku alami dan juga

perbaikan serta perkembangannya kulaporkan pada Bapa.

 

  1. Kemudian yang terpenting aku berserah pada Bapa. Aku serahkan

kepada-Nya masa depan kami. Aku juga menyerahkan diriku untuk

dibentuk dan diubah oleh-Nya, bukan hanya minta Dia mengubah

mertuaku saja. Aku siap menerima kelanjutan proses pertumbuhan

dan perkembangan rumah tanggaku. Aku berdoa dan berserah.

 

Akhirnya apa yang aku dapat?

 

Aku dan suami mengalami banyak kemajuan dalam hubungan kami. Aku

bersyukur atas apa pun yang kualami. Ternyata semua ini membuatku

semakin kuat, semakin matang sebagai wanita, dan semakin memahami

rencana Allah dalam kehidupan rumah tangga kami. Aku dan suamiku

dibentuk-Nya.

Yang menjadi harapan dari tulisan ini adalah membantu para menantu

yang masih berkeras hati, keras kepala, kecewa, dan sakit hati untuk

belajar memerhatikan dan menerima keadaan serta berdoa dan berserah

kepada-Nya. Perubahan yang dimulai dari menantu (yang lebih muda

umurnya) akan sangat berarti bagi hubungan rumah tangga selanjutnya

antara anak, menantu, serta mertua yang juga memengaruhi hubungan

nenek-kakek dengan para cucunya.

 

Aku juga berharap para mertua belajar berbesar hati, menerima, dan

mengakui keadaan serta kehidupan baru bagi putranya. Kiranya para

mertua membuka jalan baru dengan berusaha memperbaiki hubungannya

dengan para menantu. Bagi mertua yang notabene lebih tua umurnya,

mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada menantunya merupakan hal

yang sulit. Namun, jika hal ini dilakukan, aku menjamin para menantu

akan menjadi setia dan akan lebih mencintai mertuanya. Jika bukan

melalui kata-kata, yang terutama dan terpenting adalah nampak sikap

dan perlakuan yang baik terhadap para menantu.

 

Ingatlah bahwa sekeras-kerasnya hati para menantu yang sakit hati,

jika para mertua memberikan perubahan yang nyata dan memulai

memperlakukan menantu dengan baik (menghargainya), maka para menantu

itu akan sembuh dari luka-lukanya, hatinya bergembira, dan bersorak,

“Puji Tuhan, mertuaku berubah, aku pun akan berubah terhadapnya.”

Marilah saling memaafkan dan berusaha memperbaikinya.

 

Saudariku, khususnya yang mengalami kasus yang serupa, kuatkanlah

hatimu, bersabarlah dalam menghadapi

permasalahan rumah tangga. Bersabarlah, berdoa, dan serahkanlah

semuanya pada Tuhan kita, karena di balik semua peristiwa yang boleh

kita alami akan ada hikmat dan pelajaran yang berharga bagi kita.

Yesus berkata: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan

berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk

yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan

rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang

Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.” (Matius 11:28-30)

 

Diambil dan disunting dari:

Judul majalah: Curahan Hati, Januari 2006

Penulis: Cathy (nama samaran)

Penerbit: Yayasan Curahan Hati, Belanda

Halaman: 16 — 18