Menjangkau Remaja Dengan Media Musik


Seseorang mengatakan kepada saya, “Mengapa mengerti musik yang Alkitabiah begitu rumit dan berat sedangkan saya hanyalah orang biasa yang hanya ingin menyembah Tuhan dengan sepenuh hati dengan pengertian?” Kata hanya ingin menyembah Tuhan bukanlah sebuah perkara yang sederhana dalam Kekristenan. Menyembah Tuhan adalah panggilan utama dari Tuhan kepada setiap manusia sejak manusia diciptakan – bagaimana manusia berespon kepada Tuhan, beribadah kepada Tuhan menurut standar kesucian Allah yang sempurna, bukan sesuai keinginan dan kenyamanan kita. Menyembah Tuhan bukanlah perkara yang kecil dan remeh tetapi memiliki keseriusan karena setiap manusia secara pribadi berhadapan dengan Sang Pencipta kita. Tuhan memberikan Alkitab untuk menuntun kita dan memberikan pengertian agar kita tidak berdosa saat kita menyembah dia. Dengan segala kerendahan hati dan keinginan menyembah Tuhan yang juga digerakkan oleh Dia, kita harus berani menempuh kesulitan dan mempelajari segala bidang yang Tuhan bukakan bagi kita supaya seluruh hidup kita boleh menyembah Dia dalam Roh dan kebenaran.

Calvin mengatakan bahwa menyanyi tidak boleh superficial tetapi harus dengan bobot dan dignitas. Saya percaya bobot dan dignitas bukan hanya persoalan menyanyi secara sempit saja, tetapi bicara seluruh kehidupan yang dituntut oleh Tuhan, agar kita memiliki kehidupan yang berbobot dan memiliki dignitas, termasuk dalam bidang musik. Rasul Paulus mengatakan, “Aku tahu siapa yang kupercaya.” Di sini Paulus menuntut kehidupan Kristen yang berbobot, memiliki kedalaman, pengenalan akan Tuhan yang dipercayainya. Lalu perkataan Tuhan Yesus, “Sangkal diri, pikul salib, ikut Aku,” dan perkataan Paulus, “Semua kuanggap sampah oleh karena pengenalanku akan Kristus,” di sini bicara tentang dignitas. Nilai kehormatan kita ditaruh di dalam Kristus. Sebuah buku yang ditulis oleh Richard L. Pratt berjudul “Designed for Dignity” menyatakan bahwa Allah memanggil dan merancang kita untuk kemuliaan-Nya.

Di sini saya melihat berarti tidak semua musik dapat dipersembahkan kepada Allah jikalau kita benar-benar sadar harus memberikan yang terbaik kepada Tuhan. Kita perlu mengingatkan diri kita selalu saat kita hendak memberikan yang terbaik kepada Tuhan. Harus ada proses pembelajaran dan keberanian untuk berubah ke arah yang lebih baik karena kita semua sedang terus bertumbuh untuk menjadi serupa dengan Kristus. Kata “menjadi” berarti kita tidak sedang berada dalam satu titik, tetapi terus-menerus berubah dan perubahan itu akan terus terjadi sampai kita mati. Yang menjadi masalah ketika segala sesuatu berubah, perubahan tersebut berubah ke arah mana? Ke arah yang semakin baik atau semakin buruk?

Orang Kristen perlu membentuk sebuah kepribadian dan karakteristik ibadah. Yang terpenting bukanlah style musik, namun yang perlu dipikirkan ialah penyembahan membentuk karakter seseorang, maksudnya jika Anda terjun ke dalam lingkungan musik seperti apa, lingkungan tersebut akan memimpin dan mempengaruhi seluruh konsep pemikiran Anda. Pemilihan musik bukan pula masalah selera. Banyak orang yang berargumen dengan saya mengenai perbedaan selera musik, ada yang seleranya tinggi ada yang seleranya lebih rendah. Sebenarnya bukan demikian karena cara penyampaian kita seharusnya mendukung isi berita yang ingin disampaikan kepada pendengar, apakah lirik dan musik itu sendiri dapat bersatu. Bunyi suara dan gaya penyampaian dan isi berita yang disampaikan haruslah jujur, bersifat positif dan harus ada satu kesatuan, harus sinkron. Jika penyembahan menyangkut masalah selera, maka orang yang berkuasalah yang akan menang. Apa yang dimaksud dengan orang yang memegang kuasa? Yaitu pemimpin pujian di atas mimbar.

Oleh sebab itu, di dalam memilih jenis musik, kita perlu memikirkan apakah musik yang kita pilih dapat mendukung kualitas Injil itu sendiri, tidak mengecilkan mutu Injil.

Ibrani 12:28 “ Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut. Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan.”

Kembali kepada konsep Calvin tentang bobot dan dignitas. Jika Tuhan menuntut bobot dan dignitas berarti yang tidak berbobot dan tidak memiliki dignitas tidak boleh dipersembahkan kepada Tuhan. Hal ini menjadi lawan kata dari popular culture yang dengan jelas membicarakan tentang kedangkalan. Pop culture ini sengaja menghindari kedalaman tetapi mengutamakan kemudahan dan penerimaan dari masyarakat. Jangkauan dari pop culture adalah massa secara kuantitatif. Maka secara otomatis kualitas akan berkurang. Karena jika kita menghilangkan kedalaman/kualitas, proses pembelajaran akan berkurang sebab sangat mudah diterima karena easy listening. Gereja-gereja sekarang begitu banyak yang hanya menggunakan lagu-lagu pop dalam gerejanya dan mereka sendiri akhirnya memiliki suatu persepsi anti terhadap musik-musik yang memiliki kualitas lebih tinggi; mereka menyebutnya sebagai high culture atau elite. Akibatnya, musik-musik yang berkualitas dikeluarkan dan tidak ada lagi di gereja tetapi berada di gedung konser dan dipakai oleh orang-orang yang tidak mengenal Tuhan. Mereka menikmati keindahan dan kedalaman anugerah Tuhan, sedangkan kita yang diberikan Tuhan, yang ditebus mahal oleh darah-Nya, menyia-nyiakan dan menganggap musik-musik demikian susah, sulit, dan tidak bisa menjangkau orang-orang datang kepada Tuhan.

Ngomong-ngomong tentang menjangkau orang kepada Kristus, apakah musik harus dikompromikan demi alasan menjangkau orang datang ke gereja kepada Kristus? Di sini musik menjadi satu entertainment yang memuaskan kesenangan bagi manusia yang berdosa tersebut. Saat mereka percaya kepada Tuhan mereka tidak merasa ada suatu perubahan, karena musik yang dipakai di gereja toh sama saja dengan kehidupan mereka yang lama, yang mereka pakai di dunia. Lalu apa bedanya musik dunia dengan musik Kristen? Hanya karena ada kata Yesus? Saya melihat sekarang pun banyak lagu-lagu yang katanya lagu Kristen, dipakai beribadah, tetapi tidak ada lagi inti iman Kristen, apalagi kata Yesus. “Mengapakah kita harus menggunakan budaya mereka untuk membawa mereka datang kepada Kristus?” demikian Pdt. Billy Kristanto pernah mengatakan dalam sebuah kelas. Beliau mengatakan, “Menginjili orang melalui musik dengan pendekatan dan mencintai apa yang ada pada dia? Kebudayaan bukan yang ada pada dia! Kita justru harus menghancurkan apa yang ada pada dia dan membangun kembali sesuatu yang baru berdasarkan Alkitab.” Kita harus membalik pemikiran yang salah tentang penginjilan. Manusia bertobat dan percaya kepada Tuhan adalah berdasarkan iman yang timbul dari pendengaran akan firman Tuhan. Musik hanya menjadi salah satu alat dalam penginjilan. Yang terutama adalah firman Tuhan. Maka kita tidak perlu mengkompromikan musik hanya agar mudah menjangkau mereka. Jikalau mereka bertobat karena musiknya sama dan mudah diterima oleh mereka, jangan-jangan mereka bertobat tanpa mengerti mengapa mereka menjadi Kristen, tidak mengerti arti penebusan Kristus dan apa arti hidup dan percaya Kristus. Jika seperti ini jadinya, rusaklah kekristenan.

Ada satu certia dari seorang guru music yang pernah diminta untuk membuat lagu-lagu Kristen yang dapat dipasarkan. Orang tersebut berkata kepada gurunya, “Bu, tolong buatkan lagu rohani supaya saya bisa menjual untuk orang-orang Kristen, apa saja, yang penting laku untuk dijual.” Tentu saja sang guru menolaknya. Itu sangat mengerikan. Musik yang harusnya dikembalikan kepada Tuhan, dan seharusnya keluar dari hati yang mengenal Tuhan, sekarang dijadikan komersil dan ironisnya orang-orang Kristen membeli semua lagu rohani yang katanya sekarang lagi nge-trendnew release, dan jika saya tidak mengetahuinya maka saya dan gereja saya akan ketinggalan zaman. Kenaifan orang Kristen dimanfaatkan oleh orang-orang yang ingin mencari keuntungan di dunia musik dan orang Kristen tidak tahu, mereka menjadi polos di tempat yang salah.

Seorang guru sejarah music dari HK yang bernama Swing Lau pernah bertanya“Mengapa kita belajar sejarah? Mengapa penting bagi kita untuk mengetahui sejarah musik gerejawi? Apakah belajar sejarah hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki ketertarikan pada kejadian-kejadian masa lampau saja?” Swing memberikan pernyataan bahwa pada dasarnya belajar sejarah itu adalah suatu keharusan karena melalui sejarahlah kita tahu bagaimana kita bisa sampai pada hari ini. Kita tidak boleh memungkiri bahwa apa yang kita nikmati pada hari ini ialah hasil perjuangan dari mereka di masa lampau. Hal ini juga berlaku pada musik gerejawi. Lagu-lagu hymn yang kita nyanyikan di dalam ruang ibadah setiap hari Sabat bukan ada dengan sendirinya, tetapi mengalami proses perkembangan dari musik-musik di abad pertama sampai sekarang ini.

Masih ada cerita lagi. Suatu kali saya dan teman-teman pulang bersama. Kami satu mobil kurang lebih lima orang. Saat itu kami sedang mendengarkan salah satu saluran radio yang sedang memutarkan musik bergaya romantic, lagu-lagu cinta seperti itu. Awalnya kami tidak tahu lagu apa itu, tiba-tiba teman saya nyeletuk, “Ih, seperti lagu gereja yah, ini lagu apa sih, judulnya apa?” Lalu disanggah oleh teman saya yang lain, “Musik ini yang seperti gereja atau gereja yang seperti ini? Siapa seperti siapa? Siapa ikut siapa?” Lalu kami jadi sadar dan sama-sama tertawa sedih.

Di manakah bobot dan dignitas dari kekristenan, dari gereja yang seharusnya menjadi penuntun, menjadi teladan, menjadi terang dan garam bagi dunia ini? Gereja kehilangan power untuk menarik orang kepada Kristus dan akhirnya menggunakan berbagai macam daya tarik dunia yang diakomodasi dalam kekristenan. Mengapa? “Simply karena tidak meninggikan Kristus,” demikian Pdt. Billy Kristanto menjawab. Kita harus ingat bahwa konsep Kerajaan Allah, gereja yang sejati sepanjang zaman, tidak akan pernah populer tetapi ia terus ada sepanjang zaman, menyuarakan kebenaran dan mengganggu. Siapakah yang mau ikut jalan sempit ini – tidak dikenal, tidak populer, tetapi boleh berada di jantung hati Tuhan?

Apakah yang sebenarnya hendak kita nyatakan melalui musik ketika kita mengetahui bahwa musik sendiri memiliki peranan yang penting dalam Kekristenan? Jika kita diberi kesempatan untuk mengetahui dan mempelajari kebenaran Tuhan dalam aspek musik maka kita harus memikirkan peranan dan tanggung jawab kita dalam penggarapan musik gereja yang baik, yang seharusnya dipakai oleh gereja untuk menyembah Tuhan.

Kalangan remaja atau orang muda, boleh dikatakan merupakan generasi yang paling banyak dan paling cepat menyerap segala jenis produk perubahan karena mereka adalah kelompok lapisan masyarakat yang paling terpengaruh langsung oleh budaya populer. Gereja dan orang Kristen yang seharusnya mempengaruhi dunia, bukan gereja yang dipengaruhi oleh dunia (khususnya budaya populer). Tetapi kenyataannya justru orang Kristen lebih banyak dipengaruhi budaya dunia daripada Alkitab. Konsep nilai, cara pandangan, wawasan dunia (worldview), kerangka berpikir, gaya pakaian orang Kristen lebih mencerminkan nilai-nilai dan cara pandangan duniawi daripada Alkitab (ditambah lemahnya mimbar Kristen dengan pengajaran yang Alkitabiah dan kotbah eksposisi dan keteladanan hidup para pemimpin gereja). Kita dapat melihat irama dan musik pujian di gereja-gereja (khususnya yang beraliran Karismatik) yang hampir tidak berbeda dengan konser musik duniawi, bahkan ada yang hampir tidak berbeda dengan klub malam (night club) atau dunia germelap (dugem).

Orang Kristen yang adalah garam dan terang dunia, seharusnya mempengaruhi dunia, tetapi pada kenyataannya orang Kristen lebih banyak dipengaruhi oleh dunia dan kebudayaannya daripada mereka mempengaruhi dunia. James M. Boice mengatakan bahwa apa gunanya membangun dinding terhadap dunia sekular dan budayanya yang jahat jika di dalam dinding tersebut yang disebut umat Allah tidak dapat dibedakan dari mereka yang berada di luar? Apa gunanya memelihara sebuah identitas Kristen yang unik jika orang-orang Kristen bertingkah laku seperti orang-orang yang tidak percaya? Kita harus berhenti meminta dunia bertobat hingga kita sendiri bertobat terlebih dahulu.